Kamis, 24 Agustus 2017

MAKALAH -Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil-

BAB I
PENDAHULUAN

   A.   Latar Belakang
Umat Islam memiliki dua landasan utama yaitu Al-Quran dan Hadits (Sunnah) sebagai pedoman hidup di dunia.  Al-Qur’an yang notaben kalam Allah, telah dijamin kemurnian dan keabsahannya. yakni Al-Qur’an shahi likulli zamanin wamakan karena Al-qur’an diturunkan secara mutawatir. Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua hadis bisa diterima, karena belum tentu setiap hadis itu berasal dari Rasulullah. Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadis atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul Hadits. Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadis, ada satu ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadis tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa ditentukan status dan derajat hadis yang diteliti oleh perawi tersebut.
 B.   Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Jarh dan Ta’dil
2.    Bagaimana Hukum men-Jarh dan men-ta’dil
3.    Apa yang Melatar Belakangi Terjadinya Ilmu Jarh dan Ta’dil
C.   Tujuan Pembahasan
1.    Memahami Pengertian Jarh dan Ta’dil
2.    Mengatahu Hukum men-Jarh dan men-Ta’dil
3.    Mengatahu Latar Belakang Terjadinya Ilmu Jarh dan Ta’dil



BAB II
PEMBAHASAN

  A.  Pengertian Jarh Dan Ta`dil
Penilaian manusia terhadap manusia lainya, baik terhadap aspek spritual, maupun intelektual. Penilaian seperti ini dalam kerangka ilmu hadist dikenal dengan nama jarh dan ta`dil. Ilmu ini membahas secara khusus persoalan pujian dan celaan terhadap rawi hadist.
1.  Pengertian jarh dan ta’dil secara harfiah
a.      Pengertian Jarh Menurut Bahasa
Jarh atau tajrih menurut bahasa berarti luka atau melukai dan dapat juga pula diartikan sebagai aib atau mengaibkan. Dalam lisan al-Arab diterangkan sebagai berikut :
مَصْدَ رٌ  مِنْ جَرَحَ  و يَجْرَ حُهُ اذا اَحْدَثَ  فِي  بَدَنِهِ  جَرْحَا  يَسْمَعُ  سِيْلَا نَ  الدَّمِ  مِنْهُ  يُقَالُ  جَرَ حَ  الحاكِمُ  وعَيَّرَ  الشاهِدَ اذا عُيَّرَ مِنْهُ على ما تَسْقُطُ عَدَالتُهُ مِنْ كَذِبٍ وَغَيْرِهِ
“jarh adalah bentuk mashdar dari lafal ‘jaraha’, yaitu suatu ungkapan untuk badan yang terluka, sehingga mengalirkan darah. Umpamanya, Seorang hakim telah men-Jarh saksi dan menunjukan aibnya, yaitu ketika saksi itu tercela sehingga jatuhlah keadilanya, baik karena dusta atau selainya.”[1]
Dalam kamus tersebut,  jarh diartikan sebagai luka: apabila luka itu badan seseorang, kemungkinan besar akan mengalirkan darah dan menyakitkan. Bila seorang hakim mencela saksi, dengan menyebutkan bahwa saksi itu majruh dan sesuai dengan kenyataan bahwa ia majruh  atau tercela, berarti saksi itu tidak adil.
b.      Pengertian Ta’dil Menurut Bahasa
Ta’dil menurut bahasa berarti kelurusan dan kejujuran yang ada pada diri seseorang. Seseorang yang jujur tidak akan menyeleweng dan dapat diterima segala saksianya. Ketika dilakukan ta-dil terhadap seseorang, maka maksudnya, secara bahasa ialah menyamakan dan meluruskan sesuatu, dan menimbanginya dengan yang lain.
2.     Pengertian jarh dan ta’dil menurut istilah
a.      Pengertian Jarh Secara Istilah
Jarh secara istilah ialah tersifatnya seorang rawi dengan sifat-sifat tercelanya, seperti kadzdzab, su` al-hifzh, mukhtalah, ghair ma`mun, dan lain-lain. Sehingga tertolak riwayatnya. Adib salih menyatakan sebagai berikut :
“ sifat yang ada pada rawi yang denganya riwayatnya ditolak dan tidak diterima”.[2]
Ajaj al-kahtib dalam karyanya ushul al-Hadist mendefinisaikan jarh sebagai sifat lahiriah rawi yang keadilanya cacat, seperti lemahnya ingatan, sehingga riwayatnya jatuh atau tertolak. Dengan tajrih ini, rawi disifati dengan sifat yang mengarah pada kelemahan atau tidak diterima riwayatnya.[3]
b.       Pengertian Ta`dil Menurut Istilah
Arti ta`dil secara istilah adalah tersifatnya seorang perawi yang mengarah pada diterimanya periwayatanya. Orang yang tidak dinilai adil adalah orang yang tidak cacat urusan agama dan muru`ahnya sehingga kabar dan persaksianya dapat diterima sepanjang syarat-syarat nya terpenuhi.[4]
Menurut keterangan tersebut, yang dianamakan adil adalah orang yang tidask ada ketercelaan pada dirinya, sehingga tidak tertolak riwayatnya atau pemberitaanya. Jadi orang yang di ta`dil atau yang dinilai adil adalah orang orang yang dirinya selamat dari segala celaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang rawi agar riwayatnya tidak . seorang yang dinilai adil dalam periwayatan hadist, harus seorang muslim, mukallaf, dhabith, isiqah dan selamat dari kefasikan.


Untuk itu secara kumulatif ibn atsir al-jazari mendefinisikan jarh dan ta`dil sebagai berikut.
اَلْجَرْحُ وَصْفٌ مَتَي التَّحَقَ بِالرَّاوِي وَالشَّاهِدِ سَقَطَ الْاِعْتِبَارُ وبَطَلَ الْاَعْمَالث به ...
 التَّعْدِيلُ وَصْفٌ مَتَي التحق هَما اِعْتِبَارُ قَوْلِهِمَا واُخِدَبِهِ
“Jarh adalah suatu sifat dimana rawi dan persaksianya dianggap jatuhdan batal dalam pengamalnya, sedangkan ta’dil adalah sifat dimana rawi dan persaksianya dterima”.[5]
Berdasarkan definisi yang dikemukaan oleh Al-Jazari tersebut, setiap orang yang meriwatkan hadis atau saksi yang majruh (orang tercela) riwayat atau penyaksianya tidak boleh diterima. Demikian pula rawi atau saksi yang sudah dinilai adil, riwat dan penyaksianya tidak boleh disepelekan. Prof hasbi ash-shiddiqie, definisi jarh dan ta`dil sebagi berikut :
اِظْهَارُ عَيْبٍ يُرَدُّ فِيهِ الزِوايَةُ ... التعديل الاعتِرافُ بِالءعَدَالَةِ والضَبْطُ والوُثُوقُ
“ zhahirnya ‘aib sehingga riwayanya tertolak (dan) ta`dil didapat ketika  keadailan dan ke dhabithan nya diketahui.”[6]
Dari urauian diatas dapat di simpulkan bahwa ilmu jarh wa ta`dil adalah :
عِلْمٌ يُبْعَثُ فيه عَنْ قَواعِدِجرْحِ الرُّوَاةِوتَعْدِ يلِهِمْ
“Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkanya.”[7]
            Kaidah  men-jarh merupakan syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujarrih yang merupakan syarat-syarat yang harus ada dalam Jarhnya itu sendiri, lafal-lafal jarh dan muratib-nya serta ketentuan ketentuan hukum hadis yang ada oada tiap-tiap martabat yang ditempatinya. Maksud kaidan men-ta’dil rawi adalah kaidah yang berkaitan dengan syarat-syarat mu’addil, syarat-syarat ta’dil, lafal-lafal ta’dil beserta maratib-nya, serta hukum hadis berdasarkan martabat ta’dil yang ditempatinya.
            Selain itu termasuk pada kaidah jar wa ta’dil ini adalah kaidah yang berkaitan dengan ta’arudh-nya pendapat para imam tentang seorang rawi dan ta’arudh-nya ucapan seorang imam yang satu itu sendiri
Kemudian, ulama membuat beberapa persyaratan bagi orang yang meriwayatkan hadis agar riwayatnya bisa diterima. Persyaratan-persyaratan itu meliputi :
1)      Diterimanya periwayatan rawi dan dimasukkan pada kelompok shahih li dzatihi.
2)      Diterimanya periwayatan perawi dan dimasukkan pada hasan li dzatihi.
Dalam kerangka jarh wa ta’dil, maka perawi hadis adalah mereka yang memiliki persyaratan berikut :
a)      Islam
Persyaratan utama bagi orang yang meriwayatkan hadis harus seorang muslim. Riwayat orang kafir tidak boleh diterima karena orang kafir akan tetap berdaya upaya menipu kaum Muslimin dan membohonginya dengan berbagai macam cara dan usaha.
b)     Baligh
Orang yang meriwayatkan hadis disyaratkan dewasa, karena dengan kedewasaan ini seseorang akan mendapatkan taklif. Tuntutan.
c)      Adil
Dimaksud dengan adil ialah sifat yang dimiliki orang yang meriwayatkan hadis itu selalu mendorong untuk berbuat takwa secara terus menerus dan selalu terpelihara kehormatan pribadinya.
d)     Dhabith
Dhabith ialah kuat hafalan dan daya tangkapnya ketika belajar hadis dan dapat memelihara dalam bentuk tulisan bila diperlukan. Rawi dinyatakan memiliki sifat ini bila ia dapat belajar menerima hadis dengan baik dan dapat menyampaikanya sebagaimana ia menerimanya. Ahli hadis membagi dhabith ini menjadi dua bagian, yaitu : dlabth kitab (terpelihara tulisanya) dan dlabth shadr (terpelihara hafalan).
Sehubungan dengan beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang rawi hadis, jelaslah bahwa tidak akan semua orang yang pernah meriwayatkan hadis bisa diterima riwayatnya karena dikhawatirkan tidak memiliki sifat-sifat yang layak yang harus ada pada orang yang meriwayatkan hadis, seperti tidak semua orang belajar menjadi guru. Dalam hubungan ini, imam Malik menyatakan sebagia berikut:
“Tidak boleh diterima ilmu (hadis) dari empat kelompok orang dan boleh diterima dari selainya
1)      Jangan diterima ilmu dari orang yang diketahui bodohnya, padahal ia meriwatkan hadis.
2)      Jangan diterima dari orang pendusta, sekalipun ia tak berkeinginan berdusta kepada Rosulullah Saw.
3)      Tidak diterima pula dari pelaku hawa nafsu yang ia mengajak kepada hawa nafsunya.
4)      Tidak diterima pula dari seorang syekh (guru) yang walaupun ia seorang ahli ibadah yang memiliki keutamaan jika ia tak mengetahui dan memahami apa yang diriwatkanya.[8]
Jadi menurut beliau ada empat golongan orang yang riwayatnya tidak boleh diterima, yaitu orang yang dungu, pendusta, walaupun ia tidak mendustakan hadis Nabi, orang-orang yang selalu mengikuti hawa nafsu dan mengajak orang lain berbuat jahat, orang yang tidak mengetahui hal ihwal hadis, walaupun orang yang senantiasa beribadat dan mempunyai keutamaan.
Menurut Ibn Katsir, hadis bisa diterima bila diriwatkan oleh orang yang mempunyai sifat tertentu:
Tsiqat serta dhabith ketika meriwatkan hadis muslim serta berakal dan baligh serta selamat dari sebab-sebab yang menimbulkan kefasikan dan tercelanya muru’ah. Dengan demikian ia dituntut sadar, tidak lalai serta hafal ketika ia menyampaikan hafalanya dan ia faham atas ma’na dari hadis yang disampaikan.”[9]
Menurut dua pakar tersebut teranglah bahwa orang yang meriwatkan hadis, riwayatnya tidak bisa diterima dengan sembarangan,  sebagaimana tidak mudah seorang menyatakan bahwa orang yang meriwatkan hadis itu riwatnya ditolak.
  B.   Hukum Men-Jarh dan Men-Ta’dil
Telah dikatakan bahwa mencela seorang yang meriwaytkan hadis berati menyingkapkan keaibannya agar riwaytnya ditolak dan menilai adil seorang yang meriwayatkan hadis berarti menetapkan orang itu adil sehingga riwatnhya diterima. Untuk membuktikan seseorang itu majruh (tercela) bukanlah pekerjaan yang mudah dan bisa dilakukan sambil lalu, akan tetapi memerlukan penelitian yang mendalam dan usaha sungguh-sungguh. Demikian pula menyatakan seseorang itu adil. Andaikata orang menilai jarh itu tidak diteliti, bahaya dan dosanya sangat besar, sebab ia sudah mencemarkan nama baik orang lain. Mujjarih dan Mu’adil harus orang yang arif yaitu mengetahui duduk persoalan, orang yang mutqin yaitu orang yang teguh riwayatnya dan pendirianya: di samping itu pula tidak boleh taashub madhab dari golongan manapun.
Ahli hadis men-jarh dan men-ta’dil orang yang meriwatkan hadis bukanlah menjadi tujuan utama, mereka tidak bertujuan untuk menjelek-jelekan orang yang meriwatkan hadis. Orang-oorang yang meriwatkan hadis dan segala ihwalnya dibicarakan hanya sekedar wasilah untuk kemaslahatan Islam, menjaga keutuhan dan kemurnian Syariat Islam dari berbagai noda yang dilakukan oleh orang-orang yang sengaja membuat dan menyebarkan riwayat palsu dengan berbagai maacam tujuan.
Makadarinitu, meneliti dan menilain tingkah laku seseorang yang berkaitan dengan kemaslahatan umat dan agama sudah ada dasarnya dalam ajaran Islam. Allah berfiman :
Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanyayang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[10]
Dalam riwata lain diterangkan pula bahwa tidak ada halangan memberi tahu seseorang, bila ia menemukan saudaranya melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengan ajaran agama, hal lain dilakukan agar orang yang berhubungan denganya tidak tertipu.
Ayat Al-Qur’an dan Hadis memebolehkan umat Islam meneliti pembicaraan, menunjukan bahwa hal-hal tertentu dalam keadaan terdesak dan untuk kepentingan syariat Islam, maka meneliti hal ihwal dan tingkah laku seseorang itu tidak dilarang bahkan merupakan kewajiban.
Ulama hadis berpendapat, bahwa meneliti hal ihwal orang yang meriwatkan Hadis merupakan keperluan mendesak dan terpaksa, dengan keterpaksaan itu yang diharamkan akan mendapatkan keringanan.
Ibnu Daqiq al-‘Ied menyatakan, “Jika tidak sangat mendesak tidak dibenarkan mencerca seseorang”. Sehubungan dengan ini pula “Izzuddin bin Abd al-Salam berpendapat, “Dibolehkan bagi saksi untuk menyebut dua sebab dan jika tercukupkan dengan salah satu dari keduanya lebih baik, karena mencela dibutuhkan jika terpaksa, walaupun tetap dalam batas-batas yang wajar.”[11]
Dengan demikian, pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Mencela seseorang diperbolehkan bila diperlukan dalam periwayatan hadis
b.      Tidak dibenarkan mengungkapkan berbagai macam keaiban jika sudah cukup dengan satu macam saja.
c.       Mencela orang yang meriwatkan hadis termasuk keadaan mendesak
Al-hafidz Al-Nawawi menyatakan bahwa hokum men-tajrih orang yang meriwatkan hadis bukan hanya sekedar boleh, tetapi juga suatu kewajiban, ini dilakukan tidak lain untuk membela kepentingan syari’at Islam. Beliau berkata :
“Ketahuilah bahwa men-jarh para rawi itu diperbolehkan bahkan diwajibkan. Hal ini merupakan kesepakatan yang ditujukan untuk memelihara syariat yang mulia, jarh bukanlah ghibah yang diharamkan. Ini merupakan nasihat dari Allah, Rosul-Nya, dan kaum Muslimin seluruhnya. Dengan demikian, pantaslah jika para imam yang mulia, orang-orang wara’ seluruhnya melaksanakan hal ini.”[12]
Dari sekian banyak keterangan diatas, baik ayat Al-Qur’an maupun pendapat ulama, teranglah bahwa menyingkapkan nama baik rawi atau mencelanya diperbolehkan selama untuk kepentingan periwatan hadis. Tujuan akhir ulama menilai orang yang meriwatkan hadis, tidak lain untuk menemukan yang benar dan yang salah, menerangkan yang hak dan yang batil. Ulama bertindak demikian karena mereka bertanggung jawab pada agama.
C.   Latar Belakang Terjadinya Ilmu Jarh dan Ta’dil
Pertumbuhan ilmu jarh dan ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadis, ini adalah sebagai usaha ahli hadis dalam memilih dan menentukan hadis shahih dan dhaif. Menurut T.M Hasbi As-Shiddiqie[13], sekurang-kurang nya ada ujuh priode perkembangan hadis, yaitu:
1.      Masa turun wahyu
Masa ini masa pembentukan Tasyri Islam (hokum Islam), yaitu sejak awal kenabian sampai beliau wafat. Pada priode ini hanya Rosulullah yang menjadi pusat perhatian umat Islam, baik mengenai lisan ataupun perbuatanya, Rosulullah menerangkan dan meragakan hokum-hukum Islam kepada para sahabat. Caranya, para sahabat langsung menanyakan persoalan itu kepada Rosulullah atau dengan menyuruh orang lain yang bias dipercaya. Pada priode ini hanya ada dua subjek yang berperan dalam perkembangan Tasyri Islami, yaitu Rosulullah sebagai penyampai risalah dan para sahabat sebagai risalah.
Menurut Ajjaj Al-Khatib, dalam Ulum al-Hadis[14]. Rosulullah menyampaikan risalah melalui berbagai macam cara, antara lain :
a.       Al-tadaruj fi al-ta’lim (mengajar secara bertahap)
Rosulullah menyampaikan ajaran Islam kepada sahabat secara bertahap dan sedikit-sedikit. Beliau menyampaikan hal yang paling penting terlebih dahulu, seperti akidah, peringatan, kabar gembira dan kemudian disusul oleh masalah yang berat dan sulit. Jika berita yang bersifat larangan, mula-mula dibiarkan kemudian diberitahukan ketidak manfaatnya, dan kemudian dilarang sama sekali.
b.      Mayadinu ta’lim (medan pengajaran)
Tatkala Rosulullah mengajar di Makah, beliau mengambil tampat yang bernama “Darul Arqam”, namun demikian, bukan menjadi kewajiban untuk mengambil tempat-tempat tertentu sebagai tempat mengajar. Tempat yang manapun dapat digunakan untuk mengajar, asalkan tempat tersebut layak dijadikan majlis ilmu.
c.       Al-Tanwi’wa al-taghyir (variasi waktu)
Rosulullah sangat menentukan waktu untuk mengajar, sekiranya waktu itu tepat. Waktu tersebut di atur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan kebosanan bagi muslimin. Rosulullah pun mengatur waktu agar tidak mengganggu para sahabat dalam mencari rezekinya
d.      Tathbiq al-‘ilmi (penerapan ilmu)
Rosulullah menyampaikan ajaran islam keepada para sahabat ukan hanya bentuk teori, tetapi juga praktek dan pengamalanya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menerima pengajaran Al-Qur’an contohnya, mereka mendiskusikan dan mempraktekan terlebih dahulu sebelum dilanjut dengan pelajaran lainya, jika sekiranya ayat tersebut berbentuk amalan praktis.
e.       Husn al-Tarbiyah wa al-Ta’lim (keluesan dalam mendidik dan mengajar)
Rosulullah dalam mengajar penuh dengan rasa kebapaan, bagaikan seorang bapak mengajar anaknya. Beliau menggunakan bahasa yang lemah lembut disertai dengan memberikan contoh-contoh dan terkadang menggunakan teka-teki.
f.       Muru’ah al-mustawiyah al-mukhtalifah (memelihara kebersamaan dari masyarakat yang heterogin)
Rosulullah dalam menyampaikan dakwahnya mampu menangani perbedaan lingkungan, pengetahuan dan tingkat kecerdasan masyarakat dengan pengetahuan dan kemampanya, sehingga ajaran tersebut sangat mudah dipahami oleh masyarakat yang berbeda-beda itu.
g.      Al-Taisir wa’adam tasydid (memudahkan dan tidak bertindak kasar)
h.      Ta’lim al-Nisa (mengajar kaum perempuan)
Rosulullahpun menyediakan kesempatan untuk member pelajaran yang khusus untuk para sahabiyah. Hal ini dilakukan agar apabila ada hal-hal yang menyangkut soal kewanitaan tidak kaku untuk diterangkan dan dipertanyakan. Para sahabat sendiri menerima ajaran dari Rosulullah melalui cara-cara sebagai berikut :
1)      Majlis al-Rosul (majlis Rosulullah)
2)      Al-Hawadits taqa’tt li al-Rasul nafsihi (kasus-kasus yang dialami sendiri oleh Rosulullah)
3)      Al-Hawadist kana al-Taqa’u li al-Muslimin (peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap kaum muslimin)
4)      Waqa’I wa hawadits syahada fiha al-shahabah tasarrufata Rosulullah (peristiwa-peristiwa yang di disaksikan oleh para sahabat bagaimana Rosulullah melakukanya)
2.      Masa Khulafa al-Rasyidin
Priode ini dikenal dengan prioede pembatasan riwayat, priode ini terdiri dari dua masa ke khalifahan, yaitu masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan masa kekhalifahan Utsman dan Ali.

a.       Masa Abu Bakar dan Umar
Hadist wajtu itu hanya diketahui dan dipelajari oleh kalangan tertentu, dan orang-orang yang mendalaminya sangat terbatas, dalam hal inipun baru diajarkan dan diketahui oleh para sahabt lain bila ada keperluan. Abu Bakar melakukan hal ini dalam rangka menggalakan Al-Qur’an sebagai pedoman tasyri yang pertama dan utama. Di samping itu mengingat sahabat Rosulullah yang menyuruh bertindak hati-hati dalam meriwatkan hadis, sebagaimana sabdanya:
“Cukuplah seorang itu berdosa jika mengabarkan setiap apa yang didengarnya.”[15]
Sesuai dengan kedudukanya sebagai khalifah, Abu Bakar selalu menerima persyaratan tertentu dalam periwayatan hadis, persyaratan yang dimintanya selalu berupa penyaksian dari sahabat lain, umar selalu meminta bayyinah (keterangan) dari orang lain yang meriwayatkan hadis.
Jetelitian Abu Bakar dan Umar dalam menerima hadist adalah dengan cara melakukan pembatasan dan seleksi dalam menerima hadis, semata-mata hanya untuk memelihara kemurnian syari’at islam.
b.      Masa Utsman dan Ali
Pada Masa Utsman dan Ali periwayatan hadis tidak seketat kedua khalifah sebelumnya. Periwayatan hadis Banyak dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. keadaan ini terus berlanjut, sejak zaman pemerintahan Utsman dan Ali, sehingga perkembangan riwayat tampak sangat pesat.
3.      Masa Perkembangan Riwayat
Pada masa perkembangan riwayat dan perlawatan ahli hadis dari satu kota ke kota lain untuk mencari dan mengumpulkan hadis melebihi masa-masa sebelumnya. Dalam suatu riwayat, diterangkan bahwa Abu Ayub Al-Anshari dari Madinah pegi ke Mesir untuk menemui Uqbah bin ‘Amr. Perjalanananya ini dalam rangka meyakinkan sebuah hadis yang membahas tentang balasan seorang yang pernah menutupi kesulitan saudaranya di dunia. Allah akan menutupinya di akhirat kelak. Hadist ini berbunyi:
“Muslim itu bersaudar dengan Muslim lainya, janganlah ia mendzaliminya. Barang siapa yang menutupi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan menutupi kebutuhanya. Barang siapa yang mengatasi kesulitan saudaranya, maka Allah mengatasi kesulitanya di hari kiamat. Barang siapa yang menutupu aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.”[16]
Pada masa sebelumnya pemalsuan hadis itu sangat menim sekali, bahkan dapat dikatakan tidak ada, karena para sahabat dinilai jujur semuanya, juga hadis masih terjaga kemurnianya. Alas an Ayub pergi ke Mesir karena pada masa ketiga ini diduga sudah timbul pemalsuan hadis.
Pemalsuan hadis semakin memuncak setelah umat islam terpecah menjadi beberapa golongan. Pengarang al-Sunnah wa Makanatuhu fi alTasyri Islamy[17] menguraikan dengan panjang lebar sebab-sebab orang membuat hadis palsu, yang antara lain sebagai berikut :
a.       Perbedaan pandangan politik
Demi mempertahankan keutuhan dan kelestarian politik masing-masing, umat Islam pada masa itu membuat hadis palsu dan mengatasnamakan Rosulullah dalan fatwa-fatwanya, padahal Rosulullah tidak pernah mengatakan sama sekali. Di antara kelompok tersebut yang paling getol membuat riwayat palsu adalah kaum syiah. Riwayat-riwayat palsu yang berhubungan dengan keluarga Nabi yang dibuat oleh kaum Syiah dalam kitab karangan Imam Suyuti yang berjudul al-La’a’ali al-Masnuah di al-Ahadits al-Maudlu[18], antara lain :
1)      Tiang surga itu dihiasi oleh Hasan dan Husein, Fatimah lahir setelah buah-buahan surge dikirimkan Jibril
2)      Rosulullah mendapat perintah dari Allah agar beliau menikkan putrinya kepada Ali
3)      Kaum Muslimin baru akan mendapat syafaat Rosulullah, jika mereka mencintai Ahli Bait.
4)      Bila Muawiyah khotbah di mimbar Rosulullah, maka bunuhlah.
Sebenarnya bukan hanya kaum syiah saja yang membuat riwayat-riwayat palsu seperti itu, ternyata golongan Ahli Sunnah yang bodohpun tidak mau ketinggalan dan mereka membuat riwayat palsu dengan mengatasnamakan Rosulullah.
b.      Kaum Zindiq
Kaum Zindiq adalah orang-orang yang kafir dan anti Islam. Mereka semua sengaja membuat dan meriwayatkan hadis palsu, agar umat Islam ragu-ragu kepada agamanya. Di antara riwayat palsu yang di buat kaum Zindiq ialah riwayat yang menerangkan : “Allah turun pada sore hari ‘Arafah, Allah menciptakan malaikat dari bulu sikutnya, Rosulullah melihat Allah tanpa hijab, Allah sakit mata dan dilayat oleh para Malaikat, Allah menciptakan huruf-huruf, melihat wajah cantik itu ibadah, terong itu obat segala penyakit.[19]
c.       Ta’ashub kebangsaan, qabilah, bahasa, Negara dan imam mazhab
Adapun riwayat palsu ta’sub-ta ‘asub antara lain riwayat-riwayat yang menerangkan : “Dalam keadaan marah Allah menurunkan Wahyu dengan bahasa Arab, sedang keadaan rela Allah menurunkan wahyu dengan bahasa Parsi, Abu Hanifah adalah lampu Umat Muhammad, Imam Syafi’i lebih berbahaya dari Iblis.[20]
d.      Pendongeng dan Orator
Pendongeng dan orator untuk menarik perhatian pendengar dan penyemarakan situasi, sengaja membuat riwayat palsu, menambah pembicaraanya dengan kisah yang ganjil-ganjil, bahkan tidak malu-malu dengan mengatas namakan Rosulullah. Salah satu kisahnya adalah :
“Barang siapa yang membaca tahlil (laa ilaaha illallah), Allah akan menciptakan tiap-tiap kalimat daripadanya burung yang paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan.[21]
e.       Perbedaan fiqih dan kalam (teologi)
Orang yang jahil yang fanatik madzhab, membuat riwayat palsu untuk mempertahankan madzhabnya, orang yang berbeda paham dalam ilmu kalam pula membuat riwayat palsu tentang pendapatnya, sebagai contoh riwayatnya adalah : “Riwayat yang menerangkan langit dan bumi, kesemuanya mahluk Allah kecuali Allah dan al-Qur’an, demikian pual riwayat yang menerangkan bahwa al-Qu’an itu adalah mahluk.”[22]
f.       Orang yang mencintai kebaikan, tetapi tidak melengkapi dirinya dengan pengetahuan agama
Kaum yang jahil, ahli ibadah, dan orang-orang yang dianggap sholeh akan tetapi mereka keliru, senantiasa membuat riwayat palsu yang mengenai dorongan untuk mencintai sesuatu amal dan dorongan untuk membenci suatu amal, dengan alasan untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Oleh Karena itu mereka sengaja membuat riwayat palsu mengani keutamaan amal-amal tertentu, bahasan-bahasan amal tertentu, doa tertentu dan bacaan tertentu. Demikian pula mereka membuat riwayat palsu mengenai keutamaan surat-surat al-Qur’an secara berlebih-lebihan.

                                                                                                           

                                                                                                           





BAB III
PENUTUP

   A.   Kesimpulan
Ilmu al jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadisdari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafadz tertentu.
Ilmu al jarh wa ta’dil di butuhkan oleh para ulama hadis karena dengan ilmu ini akan dapat di pisahkan, mana informasi yang benar datang dari Nabi dan mana yang bukan. Oleh karena itu, ilmu ala jarrh wa ta’dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya.
    B.     Saran
llmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat penting bagi para pelajar ilmu hadits. karena ilmu ini merupakan timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatannya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterimahadistnya, serta dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterimahaditsnya. Oleh karena itulah para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuhperhatiannya dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. 








[1] Ibn Mandzur, Lisanul Arab, Juz III, Al-Mausu’ah al-Misriah Al-Amanah, h. 245
[2] Adib Shalih, Lamahat fi Ushul al-Hadis, (Beirut: al-Maktab al-Islami: 1997)
[3] ‘Abd al-Mahdi bin ‘Abd Al-Qadir bin Al-Hadi. ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil Qawa ‘Iduh Wa A’immatuh, (Mesi: jamiat Al-Azhar, 1998)  h. 11
[4] Muhammad al-Ajjad al-Khatibi. Ushul al-Hadist, (Bairut: Darul Fikr, 1998), h. 260
[5] Ibn Atsir al-Jazari, Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul, Juz 1 (tp: al-Hulwani, 1967), cet. 2.
[6] T.M. Hasbi As-Siddiqie, Pokok-pokok Dirayah Hadist, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997) cet. 2.
[7] Ibn ‘Abd Al-Hadi, op cit., h. 17
[8] Al-Khatib Al-Baghdadi, Al Kifayah fi ilm al-Riwayah, Al-Sa’adah, cet 1, abidien, n.d., h.189
[9] Mustafa Husni Al-Shiba’i, Al-Sunnah Wa Makanatuhu fi Tasyri Islam (Darul Qoumiyah: 1996) h.92
[10] Al-Qur’an, Surah al-Hujurat, ayat 6
[11] As-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh al-Tqrib al-Nawawi, Dar al-Kutub al-Arablah, Abidien,1966 h. 345
[12] Al-Imam An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Imam al-Nawawi (Beirut: Dar al-Fikr), h.124
[13] T.M. Hasbi As-Shidiqie, op cit, h. 22
[14] Muhammad Ajaj Al-Khatib. Ulum al-Hadis (Beirut: darul Fikr, 1975) h.55-66
[15] Muslim bin Hajjaj an-Naisiburi, Shahih Muslim, (Saudi Arabia: Daru;-Ifta), h. 6
[16] Ibid, h. 430
[17] Musthafa Husni As-Sibani, op cit., h. 79
[18] Al-Suyuti, al-La’a’ali al-Masnuah di al-Ahadits al-Maudlu, (Alhar al-Husaenlah), h. 388
[19] Musthafa Husni al-Sibai’, op cit., h. 84
[20] Ibid, h. 85
[21]Ibid, h. 86
[22] Ibid, h. 86