BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Umat Islam memiliki dua landasan utama yaitu Al-Quran
dan Hadits (Sunnah) sebagai pedoman hidup di dunia. Al-Qur’an yang
notaben kalam Allah, telah dijamin kemurnian dan keabsahannya. yakni Al-Qur’an shahi
likulli zamanin wamakan karena Al-qur’an diturunkan secara mutawatir.
Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul tidak semuanya berpredikat mutawatir,
sehingga tidak semua hadis bisa diterima, karena belum tentu setiap hadis itu
berasal dari Rasulullah. Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan
hadis atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul Hadits. Dari berbagai
macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadis, ada satu ilmu yang membahas
tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu Ilmu Al-Jarh wa
Al-Ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para
kritikus hadis tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul)
atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa ditentukan status dan
derajat hadis yang diteliti oleh perawi tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Jarh dan Ta’dil
2.
Bagaimana
Hukum men-Jarh dan men-ta’dil
3.
Apa yang
Melatar Belakangi Terjadinya Ilmu Jarh dan Ta’dil
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Memahami
Pengertian Jarh dan Ta’dil
2.
Mengatahu
Hukum men-Jarh dan men-Ta’dil
3.
Mengatahu
Latar Belakang Terjadinya Ilmu Jarh dan Ta’dil
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jarh
Dan Ta`dil
Penilaian
manusia terhadap manusia lainya, baik terhadap aspek spritual, maupun
intelektual. Penilaian seperti ini dalam kerangka ilmu hadist dikenal dengan
nama jarh dan ta`dil. Ilmu ini membahas secara khusus persoalan pujian dan
celaan terhadap rawi hadist.
1.
Pengertian jarh
dan ta’dil secara harfiah
a. Pengertian
Jarh Menurut Bahasa
Jarh atau tajrih menurut bahasa berarti luka atau melukai dan dapat juga pula
diartikan sebagai aib atau mengaibkan. Dalam lisan al-Arab diterangkan sebagai berikut :
مَصْدَ رٌ
مِنْ جَرَحَ و يَجْرَ حُهُ اذا
اَحْدَثَ فِي بَدَنِهِ
جَرْحَا يَسْمَعُ سِيْلَا نَ
الدَّمِ مِنْهُ يُقَالُ
جَرَ حَ الحاكِمُ وعَيَّرَ
الشاهِدَ اذا عُيَّرَ مِنْهُ على ما تَسْقُطُ عَدَالتُهُ مِنْ كَذِبٍ
وَغَيْرِهِ
“jarh
adalah bentuk mashdar dari lafal ‘jaraha’, yaitu suatu ungkapan untuk
badan yang terluka, sehingga mengalirkan darah. Umpamanya, Seorang hakim telah
men-Jarh saksi dan menunjukan aibnya,
yaitu ketika saksi itu tercela sehingga jatuhlah keadilanya, baik karena dusta
atau selainya.”[1]
Dalam kamus tersebut, jarh diartikan
sebagai luka: apabila luka itu badan seseorang, kemungkinan besar akan
mengalirkan darah dan menyakitkan. Bila seorang hakim mencela saksi, dengan
menyebutkan bahwa saksi itu majruh
dan sesuai dengan kenyataan bahwa ia majruh atau tercela, berarti saksi itu tidak
adil.
b. Pengertian
Ta’dil Menurut Bahasa
Ta’dil
menurut bahasa
berarti kelurusan dan kejujuran yang ada pada diri seseorang. Seseorang yang
jujur tidak akan menyeleweng dan dapat diterima segala saksianya. Ketika
dilakukan ta-dil terhadap seseorang,
maka maksudnya, secara bahasa ialah menyamakan dan meluruskan sesuatu, dan
menimbanginya dengan yang lain.
2.
Pengertian jarh
dan ta’dil menurut istilah
a. Pengertian
Jarh Secara Istilah
Jarh
secara istilah ialah tersifatnya seorang rawi dengan sifat-sifat tercelanya, seperti
kadzdzab, su` al-hifzh, mukhtalah, ghair ma`mun, dan lain-lain. Sehingga
tertolak riwayatnya. Adib salih menyatakan sebagai berikut :
“ sifat yang ada pada
rawi yang denganya riwayatnya ditolak dan tidak diterima”.[2]
Ajaj al-kahtib dalam
karyanya ushul al-Hadist mendefinisaikan jarh sebagai sifat lahiriah rawi yang
keadilanya cacat, seperti lemahnya ingatan, sehingga riwayatnya jatuh atau
tertolak. Dengan tajrih ini, rawi disifati dengan sifat yang mengarah pada
kelemahan atau tidak diterima riwayatnya.[3]
b. Pengertian Ta`dil
Menurut Istilah
Arti ta`dil secara
istilah adalah tersifatnya seorang perawi yang mengarah pada diterimanya
periwayatanya. Orang yang tidak dinilai adil adalah orang yang tidak cacat
urusan agama dan muru`ahnya sehingga kabar dan persaksianya dapat diterima
sepanjang syarat-syarat nya terpenuhi.[4]
Menurut keterangan
tersebut, yang dianamakan adil adalah orang yang tidask ada ketercelaan pada
dirinya, sehingga tidak tertolak riwayatnya atau pemberitaanya. Jadi orang yang
di ta`dil atau yang dinilai adil adalah orang orang yang dirinya selamat dari
segala celaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang rawi agar riwayatnya tidak
. seorang yang dinilai adil dalam periwayatan hadist, harus seorang muslim, mukallaf,
dhabith, isiqah dan selamat dari kefasikan.
Untuk itu secara
kumulatif ibn atsir al-jazari mendefinisikan jarh dan ta`dil sebagai berikut.
اَلْجَرْحُ وَصْفٌ مَتَي التَّحَقَ بِالرَّاوِي وَالشَّاهِدِ
سَقَطَ الْاِعْتِبَارُ وبَطَلَ الْاَعْمَالث به ...
التَّعْدِيلُ
وَصْفٌ مَتَي التحق هَما اِعْتِبَارُ قَوْلِهِمَا واُخِدَبِهِ
“Jarh adalah suatu sifat dimana rawi dan
persaksianya dianggap jatuhdan batal dalam pengamalnya, sedangkan ta’dil adalah
sifat dimana rawi dan persaksianya dterima”.[5]
Berdasarkan definisi
yang dikemukaan oleh Al-Jazari tersebut, setiap orang yang meriwatkan hadis
atau saksi yang majruh (orang tercela) riwayat atau penyaksianya tidak boleh
diterima. Demikian pula rawi atau saksi yang sudah dinilai adil, riwat dan
penyaksianya tidak boleh disepelekan. Prof hasbi ash-shiddiqie, definisi jarh
dan ta`dil sebagi berikut :
اِظْهَارُ عَيْبٍ
يُرَدُّ فِيهِ الزِوايَةُ ... التعديل الاعتِرافُ بِالءعَدَالَةِ والضَبْطُ
والوُثُوقُ
“ zhahirnya ‘aib
sehingga riwayanya tertolak (dan) ta`dil didapat ketika keadailan dan ke dhabithan nya diketahui.”[6]
Dari urauian diatas
dapat di simpulkan bahwa ilmu jarh wa ta`dil adalah :
عِلْمٌ يُبْعَثُ فيه
عَنْ قَواعِدِجرْحِ الرُّوَاةِوتَعْدِ يلِهِمْ
“Ilmu yang membahas
tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkanya.”[7]
Kaidah men-jarh
merupakan syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujarrih yang merupakan syarat-syarat yang harus ada dalam Jarhnya itu sendiri, lafal-lafal jarh dan muratib-nya serta ketentuan ketentuan hukum hadis yang ada oada
tiap-tiap martabat yang ditempatinya. Maksud kaidan men-ta’dil rawi adalah kaidah yang berkaitan dengan syarat-syarat mu’addil, syarat-syarat ta’dil, lafal-lafal ta’dil beserta maratib-nya,
serta hukum hadis berdasarkan martabat ta’dil
yang ditempatinya.
Selain itu termasuk pada kaidah jar wa ta’dil ini adalah kaidah yang
berkaitan dengan ta’arudh-nya
pendapat para imam tentang seorang rawi dan ta’arudh-nya
ucapan seorang imam yang satu itu sendiri
Kemudian, ulama
membuat beberapa persyaratan bagi orang yang meriwayatkan hadis agar riwayatnya
bisa diterima. Persyaratan-persyaratan itu meliputi :
1)
Diterimanya
periwayatan rawi dan dimasukkan pada kelompok shahih li dzatihi.
2)
Diterimanya
periwayatan perawi dan dimasukkan pada hasan
li dzatihi.
Dalam kerangka jarh wa ta’dil, maka perawi hadis adalah
mereka yang memiliki persyaratan berikut :
a) Islam
Persyaratan
utama bagi orang yang meriwayatkan hadis harus seorang muslim. Riwayat orang
kafir tidak boleh diterima karena orang kafir akan tetap berdaya upaya menipu
kaum Muslimin dan membohonginya dengan berbagai macam cara dan usaha.
b) Baligh
Orang
yang meriwayatkan hadis disyaratkan dewasa, karena dengan kedewasaan ini
seseorang akan mendapatkan taklif.
Tuntutan.
c) Adil
Dimaksud
dengan adil ialah sifat yang dimiliki orang yang meriwayatkan hadis itu selalu
mendorong untuk berbuat takwa secara terus menerus dan selalu terpelihara
kehormatan pribadinya.
d) Dhabith
Dhabith
ialah kuat hafalan dan daya tangkapnya ketika belajar hadis dan dapat
memelihara dalam bentuk tulisan bila diperlukan. Rawi dinyatakan memiliki sifat
ini bila ia dapat belajar menerima hadis dengan baik dan dapat menyampaikanya
sebagaimana ia menerimanya. Ahli hadis membagi dhabith ini menjadi dua bagian,
yaitu : dlabth kitab (terpelihara tulisanya)
dan dlabth shadr (terpelihara
hafalan).
Sehubungan
dengan beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang rawi hadis,
jelaslah bahwa tidak akan semua orang yang pernah meriwayatkan hadis bisa
diterima riwayatnya karena dikhawatirkan tidak memiliki sifat-sifat yang layak
yang harus ada pada orang yang meriwayatkan hadis, seperti tidak semua orang
belajar menjadi guru. Dalam hubungan ini, imam Malik menyatakan sebagia
berikut:
“Tidak
boleh diterima ilmu (hadis) dari empat kelompok orang dan boleh diterima dari
selainya
1)
Jangan
diterima ilmu dari orang yang diketahui bodohnya, padahal ia meriwatkan hadis.
2)
Jangan
diterima dari orang pendusta, sekalipun ia tak berkeinginan berdusta kepada
Rosulullah Saw.
3)
Tidak
diterima pula dari pelaku hawa nafsu yang ia mengajak kepada hawa nafsunya.
4)
Tidak
diterima pula dari seorang syekh (guru) yang walaupun ia seorang ahli ibadah
yang memiliki keutamaan jika ia tak mengetahui dan memahami apa yang
diriwatkanya.[8]
Jadi menurut beliau
ada empat golongan orang yang riwayatnya tidak boleh diterima, yaitu orang yang
dungu, pendusta, walaupun ia tidak mendustakan hadis Nabi, orang-orang yang
selalu mengikuti hawa nafsu dan mengajak orang lain berbuat jahat, orang yang
tidak mengetahui hal ihwal hadis, walaupun orang yang senantiasa beribadat dan
mempunyai keutamaan.
Menurut Ibn Katsir,
hadis bisa diterima bila diriwatkan oleh orang yang mempunyai sifat tertentu:
“Tsiqat serta dhabith
ketika meriwatkan hadis muslim serta berakal dan baligh serta selamat dari
sebab-sebab yang menimbulkan kefasikan dan tercelanya muru’ah. Dengan demikian ia dituntut sadar, tidak lalai serta hafal
ketika ia menyampaikan hafalanya dan ia faham atas ma’na dari hadis yang
disampaikan.”[9]
Menurut dua pakar
tersebut teranglah bahwa orang yang meriwatkan hadis, riwayatnya tidak bisa
diterima dengan sembarangan, sebagaimana
tidak mudah seorang menyatakan bahwa orang yang meriwatkan hadis itu riwatnya
ditolak.
B.
Hukum Men-Jarh
dan Men-Ta’dil
Telah dikatakan bahwa
mencela seorang yang meriwaytkan hadis berati menyingkapkan keaibannya agar
riwaytnya ditolak dan menilai adil seorang yang meriwayatkan hadis berarti
menetapkan orang itu adil sehingga riwatnhya diterima. Untuk membuktikan
seseorang itu majruh (tercela) bukanlah pekerjaan yang mudah dan bisa dilakukan
sambil lalu, akan tetapi memerlukan penelitian yang mendalam dan usaha
sungguh-sungguh. Demikian pula menyatakan seseorang itu adil. Andaikata orang
menilai jarh itu tidak diteliti,
bahaya dan dosanya sangat besar, sebab ia sudah mencemarkan nama baik orang
lain. Mujjarih dan Mu’adil harus orang yang arif yaitu
mengetahui duduk persoalan, orang yang mutqin
yaitu orang yang teguh riwayatnya dan pendirianya: di samping itu pula
tidak boleh taashub madhab dari
golongan manapun.
Ahli hadis men-jarh
dan men-ta’dil orang yang meriwatkan hadis bukanlah menjadi tujuan utama,
mereka tidak bertujuan untuk menjelek-jelekan orang yang meriwatkan hadis.
Orang-oorang yang meriwatkan hadis dan segala ihwalnya dibicarakan hanya
sekedar wasilah untuk kemaslahatan Islam, menjaga keutuhan dan kemurnian
Syariat Islam dari berbagai noda yang dilakukan oleh orang-orang yang sengaja
membuat dan menyebarkan riwayat palsu dengan berbagai maacam tujuan.
Makadarinitu,
meneliti dan menilain tingkah laku seseorang yang berkaitan dengan kemaslahatan
umat dan agama sudah ada dasarnya dalam ajaran Islam. Allah berfiman :
“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang-orang fasik
membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanyayang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.”[10]
Dalam riwata lain
diterangkan pula bahwa tidak ada halangan memberi tahu seseorang, bila ia
menemukan saudaranya melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengan ajaran
agama, hal lain dilakukan agar orang yang berhubungan denganya tidak tertipu.
Ayat Al-Qur’an dan
Hadis memebolehkan umat Islam meneliti pembicaraan, menunjukan bahwa hal-hal
tertentu dalam keadaan terdesak dan untuk kepentingan syariat Islam, maka
meneliti hal ihwal dan tingkah laku seseorang itu tidak dilarang bahkan
merupakan kewajiban.
Ulama hadis
berpendapat, bahwa meneliti hal ihwal orang yang meriwatkan Hadis merupakan
keperluan mendesak dan terpaksa, dengan keterpaksaan itu yang diharamkan akan
mendapatkan keringanan.
Ibnu Daqiq al-‘Ied
menyatakan, “Jika tidak sangat mendesak tidak dibenarkan mencerca seseorang”.
Sehubungan dengan ini pula “Izzuddin bin Abd al-Salam berpendapat, “Dibolehkan
bagi saksi untuk menyebut dua sebab dan jika tercukupkan dengan salah satu dari
keduanya lebih baik, karena mencela dibutuhkan jika terpaksa, walaupun tetap
dalam batas-batas yang wajar.”[11]
Dengan demikian, pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Mencela
seseorang diperbolehkan bila diperlukan dalam periwayatan hadis
b. Tidak
dibenarkan mengungkapkan berbagai macam keaiban jika sudah cukup dengan satu
macam saja.
c. Mencela
orang yang meriwatkan hadis termasuk keadaan mendesak
Al-hafidz Al-Nawawi menyatakan bahwa hokum men-tajrih orang yang meriwatkan hadis bukan hanya sekedar boleh,
tetapi juga suatu kewajiban, ini dilakukan tidak lain untuk membela kepentingan
syari’at Islam. Beliau berkata :
“Ketahuilah bahwa men-jarh para rawi itu diperbolehkan bahkan
diwajibkan. Hal ini merupakan kesepakatan yang ditujukan untuk memelihara
syariat yang mulia, jarh bukanlah ghibah yang diharamkan. Ini merupakan nasihat
dari Allah, Rosul-Nya, dan kaum Muslimin seluruhnya. Dengan demikian, pantaslah
jika para imam yang mulia, orang-orang wara’ seluruhnya melaksanakan hal ini.”[12]
Dari sekian banyak keterangan diatas, baik ayat Al-Qur’an maupun
pendapat ulama, teranglah bahwa menyingkapkan nama baik rawi atau mencelanya
diperbolehkan selama untuk kepentingan periwatan hadis. Tujuan akhir ulama
menilai orang yang meriwatkan hadis, tidak lain untuk menemukan yang benar dan
yang salah, menerangkan yang hak dan yang batil. Ulama bertindak demikian
karena mereka bertanggung jawab pada agama.
C.
Latar Belakang
Terjadinya Ilmu Jarh dan Ta’dil
Pertumbuhan
ilmu jarh dan ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadis, ini adalah sebagai
usaha ahli hadis dalam memilih dan menentukan hadis shahih dan dhaif. Menurut
T.M Hasbi As-Shiddiqie[13],
sekurang-kurang nya ada ujuh priode perkembangan hadis, yaitu:
1.
Masa
turun wahyu
Masa ini masa pembentukan
Tasyri Islam (hokum Islam), yaitu sejak awal kenabian sampai beliau wafat. Pada
priode ini hanya Rosulullah yang menjadi pusat perhatian umat Islam, baik
mengenai lisan ataupun perbuatanya, Rosulullah menerangkan dan meragakan hokum-hukum
Islam kepada para sahabat. Caranya, para sahabat langsung menanyakan persoalan
itu kepada Rosulullah atau dengan menyuruh orang lain yang bias dipercaya. Pada
priode ini hanya ada dua subjek yang berperan dalam perkembangan Tasyri Islami,
yaitu Rosulullah sebagai penyampai risalah dan para sahabat sebagai risalah.
Menurut Ajjaj Al-Khatib,
dalam Ulum al-Hadis[14].
Rosulullah menyampaikan risalah melalui berbagai macam cara, antara lain :
a. Al-tadaruj
fi al-ta’lim (mengajar secara bertahap)
Rosulullah menyampaikan
ajaran Islam kepada sahabat secara bertahap dan sedikit-sedikit. Beliau
menyampaikan hal yang paling penting terlebih dahulu, seperti akidah,
peringatan, kabar gembira dan kemudian disusul oleh masalah yang berat dan
sulit. Jika berita yang bersifat larangan, mula-mula dibiarkan kemudian
diberitahukan ketidak manfaatnya, dan kemudian dilarang sama sekali.
b. Mayadinu
ta’lim (medan pengajaran)
Tatkala Rosulullah mengajar
di Makah, beliau mengambil tampat yang bernama “Darul Arqam”, namun demikian, bukan
menjadi kewajiban untuk mengambil tempat-tempat tertentu sebagai tempat
mengajar. Tempat yang manapun dapat digunakan untuk mengajar, asalkan tempat
tersebut layak dijadikan majlis ilmu.
c. Al-Tanwi’wa
al-taghyir (variasi waktu)
Rosulullah sangat menentukan
waktu untuk mengajar, sekiranya waktu itu tepat. Waktu tersebut di atur
sedemikian rupa agar tidak menimbulkan kebosanan bagi muslimin. Rosulullah pun
mengatur waktu agar tidak mengganggu para sahabat dalam mencari rezekinya
d. Tathbiq
al-‘ilmi (penerapan ilmu)
Rosulullah menyampaikan
ajaran islam keepada para sahabat ukan hanya bentuk teori, tetapi juga praktek
dan pengamalanya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menerima pengajaran
Al-Qur’an contohnya, mereka mendiskusikan dan mempraktekan terlebih dahulu
sebelum dilanjut dengan pelajaran lainya, jika sekiranya ayat tersebut
berbentuk amalan praktis.
e. Husn
al-Tarbiyah wa al-Ta’lim (keluesan dalam mendidik dan mengajar)
Rosulullah dalam mengajar
penuh dengan rasa kebapaan, bagaikan seorang bapak mengajar anaknya. Beliau
menggunakan bahasa yang lemah lembut disertai dengan memberikan contoh-contoh
dan terkadang menggunakan teka-teki.
f. Muru’ah
al-mustawiyah al-mukhtalifah (memelihara kebersamaan dari masyarakat yang
heterogin)
Rosulullah dalam
menyampaikan dakwahnya mampu menangani perbedaan lingkungan, pengetahuan dan
tingkat kecerdasan masyarakat dengan pengetahuan dan kemampanya, sehingga
ajaran tersebut sangat mudah dipahami oleh masyarakat yang berbeda-beda itu.
g. Al-Taisir
wa’adam tasydid (memudahkan dan tidak bertindak kasar)
h. Ta’lim
al-Nisa (mengajar kaum perempuan)
Rosulullahpun menyediakan
kesempatan untuk member pelajaran yang khusus untuk para sahabiyah. Hal ini
dilakukan agar apabila ada hal-hal yang menyangkut soal kewanitaan tidak kaku
untuk diterangkan dan dipertanyakan. Para sahabat sendiri menerima ajaran dari
Rosulullah melalui cara-cara sebagai berikut :
1) Majlis
al-Rosul (majlis Rosulullah)
2) Al-Hawadits
taqa’tt li al-Rasul nafsihi (kasus-kasus yang dialami sendiri oleh Rosulullah)
3) Al-Hawadist
kana al-Taqa’u li al-Muslimin (peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap kaum
muslimin)
4) Waqa’I
wa hawadits syahada fiha al-shahabah tasarrufata Rosulullah
(peristiwa-peristiwa yang di disaksikan oleh para sahabat bagaimana Rosulullah
melakukanya)
2.
Masa
Khulafa al-Rasyidin
Priode ini dikenal dengan
prioede pembatasan riwayat, priode ini terdiri dari dua masa ke khalifahan,
yaitu masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan masa kekhalifahan Utsman dan
Ali.
a. Masa
Abu Bakar dan Umar
Hadist wajtu itu hanya
diketahui dan dipelajari oleh kalangan tertentu, dan orang-orang yang
mendalaminya sangat terbatas, dalam hal inipun baru diajarkan dan diketahui
oleh para sahabt lain bila ada keperluan. Abu Bakar melakukan hal ini dalam
rangka menggalakan Al-Qur’an sebagai pedoman tasyri yang pertama dan utama. Di
samping itu mengingat sahabat Rosulullah yang menyuruh bertindak hati-hati
dalam meriwatkan hadis, sebagaimana sabdanya:
“Cukuplah seorang itu
berdosa jika mengabarkan setiap apa yang didengarnya.”[15]
Sesuai dengan kedudukanya
sebagai khalifah, Abu Bakar selalu menerima persyaratan tertentu dalam
periwayatan hadis, persyaratan yang dimintanya selalu berupa penyaksian dari
sahabat lain, umar selalu meminta bayyinah (keterangan) dari orang lain yang
meriwayatkan hadis.
Jetelitian Abu Bakar dan
Umar dalam menerima hadist adalah dengan cara melakukan pembatasan dan seleksi
dalam menerima hadis, semata-mata hanya untuk memelihara kemurnian syari’at
islam.
b. Masa
Utsman dan Ali
Pada Masa Utsman dan Ali
periwayatan hadis tidak seketat kedua khalifah sebelumnya. Periwayatan hadis
Banyak dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. keadaan ini terus berlanjut,
sejak zaman pemerintahan Utsman dan Ali, sehingga perkembangan riwayat tampak
sangat pesat.
3.
Masa
Perkembangan Riwayat
Pada masa perkembangan
riwayat dan perlawatan ahli hadis dari satu kota ke kota lain untuk mencari dan
mengumpulkan hadis melebihi masa-masa sebelumnya. Dalam suatu riwayat,
diterangkan bahwa Abu Ayub Al-Anshari dari Madinah pegi ke Mesir untuk menemui
Uqbah bin ‘Amr. Perjalanananya ini dalam rangka meyakinkan sebuah hadis yang
membahas tentang balasan seorang yang pernah menutupi kesulitan saudaranya di
dunia. Allah akan menutupinya di akhirat kelak. Hadist ini berbunyi:
“Muslim itu bersaudar dengan
Muslim lainya, janganlah ia mendzaliminya. Barang siapa yang menutupi kebutuhan
saudaranya, maka Allah akan menutupi kebutuhanya. Barang siapa yang mengatasi
kesulitan saudaranya, maka Allah mengatasi kesulitanya di hari kiamat. Barang
siapa yang menutupu aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada
hari kiamat.”[16]
Pada masa sebelumnya
pemalsuan hadis itu sangat menim sekali, bahkan dapat dikatakan tidak ada,
karena para sahabat dinilai jujur semuanya, juga hadis masih terjaga
kemurnianya. Alas an Ayub pergi ke Mesir karena pada masa ketiga ini diduga
sudah timbul pemalsuan hadis.
Pemalsuan hadis semakin
memuncak setelah umat islam terpecah menjadi beberapa golongan. Pengarang
al-Sunnah wa Makanatuhu fi alTasyri Islamy[17]
menguraikan dengan panjang lebar sebab-sebab orang membuat hadis palsu, yang
antara lain sebagai berikut :
a. Perbedaan
pandangan politik
Demi mempertahankan keutuhan
dan kelestarian politik masing-masing, umat Islam pada masa itu membuat hadis
palsu dan mengatasnamakan Rosulullah dalan fatwa-fatwanya, padahal Rosulullah
tidak pernah mengatakan sama sekali. Di antara kelompok tersebut yang paling
getol membuat riwayat palsu adalah kaum syiah. Riwayat-riwayat palsu yang
berhubungan dengan keluarga Nabi yang dibuat oleh kaum Syiah dalam kitab
karangan Imam Suyuti yang berjudul al-La’a’ali al-Masnuah di al-Ahadits
al-Maudlu[18],
antara lain :
1) Tiang
surga itu dihiasi oleh Hasan dan Husein, Fatimah lahir setelah buah-buahan
surge dikirimkan Jibril
2) Rosulullah
mendapat perintah dari Allah agar beliau menikkan putrinya kepada Ali
3) Kaum
Muslimin baru akan mendapat syafaat Rosulullah, jika mereka mencintai Ahli
Bait.
4) Bila
Muawiyah khotbah di mimbar Rosulullah, maka bunuhlah.
Sebenarnya bukan hanya kaum
syiah saja yang membuat riwayat-riwayat palsu seperti itu, ternyata golongan
Ahli Sunnah yang bodohpun tidak mau ketinggalan dan mereka membuat riwayat
palsu dengan mengatasnamakan Rosulullah.
b. Kaum
Zindiq
Kaum Zindiq adalah
orang-orang yang kafir dan anti Islam. Mereka semua sengaja membuat dan
meriwayatkan hadis palsu, agar umat Islam ragu-ragu kepada agamanya. Di antara
riwayat palsu yang di buat kaum Zindiq ialah riwayat yang menerangkan : “Allah
turun pada sore hari ‘Arafah, Allah menciptakan malaikat dari bulu sikutnya,
Rosulullah melihat Allah tanpa hijab, Allah sakit mata dan dilayat oleh para
Malaikat, Allah menciptakan huruf-huruf, melihat wajah cantik itu ibadah,
terong itu obat segala penyakit.[19]
c. Ta’ashub
kebangsaan, qabilah, bahasa, Negara dan imam mazhab
Adapun riwayat palsu
ta’sub-ta ‘asub antara lain riwayat-riwayat yang menerangkan : “Dalam keadaan
marah Allah menurunkan Wahyu dengan bahasa Arab, sedang keadaan rela Allah
menurunkan wahyu dengan bahasa Parsi, Abu Hanifah adalah lampu Umat Muhammad,
Imam Syafi’i lebih berbahaya dari Iblis.[20]
d. Pendongeng
dan Orator
Pendongeng dan orator untuk
menarik perhatian pendengar dan penyemarakan situasi, sengaja membuat riwayat
palsu, menambah pembicaraanya dengan kisah yang ganjil-ganjil, bahkan tidak
malu-malu dengan mengatas namakan Rosulullah. Salah satu kisahnya adalah :
“Barang siapa yang membaca
tahlil (laa ilaaha illallah), Allah akan menciptakan tiap-tiap kalimat
daripadanya burung yang paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan.[21]
e. Perbedaan
fiqih dan kalam (teologi)
Orang yang jahil yang
fanatik madzhab, membuat riwayat palsu untuk mempertahankan madzhabnya, orang
yang berbeda paham dalam ilmu kalam pula membuat riwayat palsu tentang
pendapatnya, sebagai contoh riwayatnya adalah : “Riwayat yang menerangkan
langit dan bumi, kesemuanya mahluk Allah kecuali Allah dan al-Qur’an, demikian
pual riwayat yang menerangkan bahwa al-Qu’an itu adalah mahluk.”[22]
f. Orang
yang mencintai kebaikan, tetapi tidak melengkapi dirinya dengan pengetahuan
agama
Kaum yang jahil, ahli
ibadah, dan orang-orang yang dianggap sholeh akan tetapi mereka keliru,
senantiasa membuat riwayat palsu yang mengenai dorongan untuk mencintai sesuatu
amal dan dorongan untuk membenci suatu amal, dengan alasan untuk mendekatkan
dirinya kepada Allah. Oleh Karena itu mereka sengaja membuat riwayat palsu mengani
keutamaan amal-amal tertentu, bahasan-bahasan amal tertentu, doa tertentu dan
bacaan tertentu. Demikian pula mereka membuat riwayat palsu mengenai keutamaan
surat-surat al-Qur’an secara berlebih-lebihan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu al jarh wa ta’dil adalah ilmu
yang membahas tentang para perawi
hadisdari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka
dengan ungkapan atau lafadz tertentu.
Ilmu al jarh wa ta’dil di butuhkan oleh para ulama hadis
karena dengan ilmu ini akan dapat di pisahkan, mana informasi yang benar datang
dari Nabi dan mana yang bukan. Oleh karena itu, ilmu ala jarrh wa ta’dil sangat
berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya.
B. Saran
llmu jarh wa ta’dil adalah
ilmu yang sangat penting bagi para pelajar ilmu hadits. karena ilmu ini
merupakan timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya
diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya
ditolak riwayatannya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang
dapat diterimahadistnya, serta dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak
dapat diterimahaditsnya. Oleh karena itulah para ulama hadits
memperhatikan ilmu ini dengan penuhperhatiannya dan mencurahkan segala
pikirannya untuk menguasainya.
[1]
Ibn Mandzur, Lisanul Arab, Juz III, Al-Mausu’ah al-Misriah Al-Amanah, h. 245
[2]
Adib Shalih, Lamahat fi Ushul al-Hadis, (Beirut: al-Maktab al-Islami: 1997)
[3]
‘Abd al-Mahdi bin ‘Abd Al-Qadir bin Al-Hadi. ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil Qawa
‘Iduh Wa A’immatuh, (Mesi: jamiat Al-Azhar, 1998) h. 11
[4] Muhammad
al-Ajjad al-Khatibi. Ushul al-Hadist, (Bairut: Darul Fikr, 1998), h. 260
[5]
Ibn Atsir al-Jazari, Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul, Juz 1 (tp: al-Hulwani,
1967), cet. 2.
[6]
T.M. Hasbi As-Siddiqie, Pokok-pokok Dirayah Hadist, (Jakarta: Bulan Bintang,
1997) cet. 2.
[7]
Ibn ‘Abd Al-Hadi, op cit., h. 17
[8]
Al-Khatib Al-Baghdadi, Al Kifayah fi ilm al-Riwayah, Al-Sa’adah, cet 1,
abidien, n.d., h.189
[9]
Mustafa Husni Al-Shiba’i, Al-Sunnah Wa Makanatuhu fi Tasyri Islam (Darul
Qoumiyah: 1996) h.92
[10]
Al-Qur’an, Surah al-Hujurat, ayat 6
[11]
As-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh al-Tqrib al-Nawawi, Dar al-Kutub
al-Arablah, Abidien,1966 h. 345
[12] Al-Imam An-Nawawi, Shahih Muslim bi
Syarh al-Imam al-Nawawi (Beirut: Dar al-Fikr), h.124
[13] T.M. Hasbi As-Shidiqie, op cit, h.
22
[14] Muhammad Ajaj Al-Khatib. Ulum
al-Hadis (Beirut: darul Fikr, 1975) h.55-66
[15] Muslim bin Hajjaj an-Naisiburi,
Shahih Muslim, (Saudi Arabia: Daru;-Ifta), h. 6
[16] Ibid, h. 430
[17] Musthafa Husni As-Sibani, op cit.,
h. 79
[19] Musthafa Husni al-Sibai’, op cit.,
h. 84
[20] Ibid, h. 85
[21]Ibid, h. 86
[22] Ibid, h. 86