Selasa, 17 April 2018

MAKALAH SILABUS DAN KISI-KISI PENILAIAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Dalam kegiatan pembelajaran, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan sekolah dalam mengelola proses pembelajaran dan lebih khusu lagi adalah proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Sesuai dengan prinsip otonomi dan Mnajemen Peningkatan Mutu Berbasi Sekolah (MPMBS), pelaksanaan pembelajaran dalam hal ini guru perlu diberikan keleluasaan dan diharapkan mampu menyiapkan  silabus, memilih straegi pembelajaran, dan penilaiannya yang sesuai dengan kondisi dan potensi peserta didik dan lingkungan masing-masing.
Berdasarakan pertimbangan tersebut, maka perlu dibuat buku pedoman untuk meningkatkan pengembangan silabus yang berbasis kompetensi. Pengembangan silabus ini meliputi dua macam, yaitu pedoman umum dan pedoman khusus untuk setiap mata pelajaran. Pedoman umum pengembangan silabus memberikan penjelasan secara umum tentang prosedur dan cara mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk menjadi indicator pencapaian kompetensi, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian alokasi waktu, dan sumber belajar. Sedangkan pedoman khusus menjelaskan mekanisme pengembangan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang disertai contoh-contoh untuk lebih memperjelas langkah-langkah silabusnya.

B.     Rumusan Masalah
C.    Tujuan Penulisan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Silabus
1.      Pengertian Silabus
Istilah silabus dapat didefinisikan sebagai “Garis besar, ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran” (Salim, 1987:98). Silabus digunakan untuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum berupa penjabaran lebih lanjut dari standar kompetensi dan kemampuan dasar yang ingin dicapai, dan pokok-pokok serta uraian materi yang perlu dipelajari siswa dalam mencapai standar kompetensi dan kemampuan dasar.
Silabus adalah ancangan pembelajaran yang berisi rencana bahan ajar mata pelajaran tertentu pada jenjang dan kelas tertentu, sebagai hasil dari seleksi, pengelompokan, pengurutan, dan penyajian materi kurikulum, yang dipertimbangkan berdasarkan cirri dan kebutuhan daerah setempat.
2.       Isi Silabus
Hubungan kurikulum dengan pengajaran dalam bentuk lain ialah dokumen kurikulum yang biasanya disebut silabus yang sifatnya lebih terbatas daripada pedoman kurikulum. Pada umumnya suatu silabus paling sedikit harus mencakup unsure-unsur :
a.       Tujuan mata pelajaran yang diajarakan;
b.      Sasaran-sasaran mata pelajaran;
c.       Keterampilan yang diperlukan agar dapat menguasai mata pelajaran tersebut dengan baik;
d.      Urutan topik-topik yang diajarkan;
e.       Aktivitas dan sumber-sumber belajar pendukung keberhasilan pengajaran;
f.       Berbagai teknik evaluasi yang digunakan.
B.     Silabus dan Kisi-Kisi Penilaian
Silabus dan sistem penilaian disusun berdasarkan prinsip yang berorientasi pada pencapaian kompetensi. Sesuai dengan prinsip tersebut maka silabus dan sistem penilaian mata pelajaran harus disusun sesuai dengan kebutuhan daerah/sekolah. Sehingga benar-benar menjadi pedoman guru dalam mengembangakan pembelajaran dan pengorganisasian seluruh komponen yang dapat mengubah perilaku peserta didik.
Silabus dan sistem penilaian berfungsi untuk mengetahuai kemajuan belajar siswa mendiagnosis kesulitan belajar, memberikan umpan balik, melakukan perbaiakan, memotivasi guru agar mengajar lebih baik, dan memotivasi siswa untuk belajar lebih baik. Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi adalah: valid, memdidik, berorientasi pada kompetensi, adil dan objektif, terbuka, berkesinambungan, menyeluruh, dan bermakna.
Langkah-langkah penyusunan silabus dan sistem penilaian hampir sama urutannya dengan tahapan-tahapan penyusunan silabus, yaitu identifikasi mata pelajran; perumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar; penentuan materi pokok; pemilihan pengalaman belajar; perkiraan waktu yang dibutuhkan; dan pemilihan sumber atau bahan atau alat. Dalam hal ini ditambah dengan penentuan indikator dan penilaian yang meliputi jenis tagihan bentuk instrument, dan contoh instrument.
C.     Penilaian
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Untuk mengembangkan instrumen penilaian terlebih dahulu diperhatikan indikator. Di dalam kegiatan penilaian ini terdapat tiga komponen penting, yaitu teknik penilaian, bentuk instrumen, dan contoh instrument.
1.      Teknik Penilaian
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan untuk menentukan tingkat keberhasilan pencapaian kompetensi yang telah ditentukan.  Adapun yang dimaksud dengan teknik penilaian adalah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh informasi mengenai proses dan produk yang dihasilkan pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik.
Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam rangka penilaian ini, yang secara garis besar dapat dikategorikan sebagai teknik tes dan teknik nontes.Teknik tes merupakan cara untuk memperoleh informasi melalui pertanyaan yang memerlukan jawaban betul atau salah, sedangkan teknik nontes adalah suatu cara untuk memperoleh informasi melalui pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban betul atau salah.
Dalam melaksanakan penilaian, penyusun silabus perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini:
a.       Pemilihan jenis penilaian harus disertai dengan aspek-aspek yang akan dinilai sehingga memudahkan dalam penyusunan soal.
b.      Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian indikator.
c.       Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan siswa setelah siswa mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan siswa.
Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindakan perbaikan, berupa program remedi. Apabila siswa belum menguasai suatu kompetensi dasar, ia harus mengikuti proses pembelajaran lagi, dan bila telah menguasai kompetensi dasar, ia diberi tugas pengayaan.
Siswa yang telah menguasai semua atau hampir semua kompetensi dasar dapat diberi tugas untuk mempelajari kompetensi dasar berikutnya.Dalam sistem penilaian berkelanjutan, guru harus membuat kisi-kisi penilaian dan rancangan penilaian secara menyeluruh untuk satu semester dengan menggunakan teknik penilaian yang tepat.
Penilaian dilakukan untuk menyeimbangkan berbagai aspek pembelajaran: kognitif, afektif dan psikomotor dengan menggunakan berbagai model penilaian, baik  formal maupun nonformal secara berkesinambungan. Penilaian merupakan suatu proses pengumpulan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat, dan konsisten sebagai akuntabilitas publik.
Penilaian merupakan proses identifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan hasil belajar siswa.
Penilaian berorientasi pada Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikator. Dengan demikian, hasilnya akan memberikan gambaran mengenai perkembangan pencapaian kompetensi. Penilaian dilakukan secara berkelanjutan (direncanakan dan dilakukan terus menerus) guna mendapatkan gambaran yang utuh mengenai perkembangan penguasaan kompetensi  siswa, baik sebagai efek langsung (main effect) maupun efek pengiring (nurturant effect) dari proses pembelajaran. Sistem penilaian harus disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan, penilaian harus diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya teknik wawancara, maupun produk/hasil dengan  melakukan observasi lapangan yang berupa informasi yang dibutuhkan.
2.      Bentuk Instrumen
Bentuk instrumen yang dipilih harus sesuai dengan teknik penilaiannya.Tes tulis, dapat berupa tes esai/uraian, pilihan ganda, isian, menjodohkan dan sebagainya. Selain tes tulis, tes lisan juga dianjurkan dalam bentuk instrument untuk teknik penilaian. Tes lisan ini biasanya berbentuk daftar pertanyaan. Kemudian ada  tes unjuk kerja, dapat berupa tes identifikasi, tes simulasi, dan uji petik kerja produk, uji petik kerja prosedur, atau uji petik kerja prosedur dan produk.
Sesudah penentuan instrumen tes telah dipandang tepat, selanjutnya instrumen tes itu dituliskan di dalam kolom matriks silabus yang tersedia.
3.      Setelah ditetapkan bentuk instrumennya, selanjutnya dibuat contohnya. Contoh instrumen dapat dituliskan di dalam kolom matriks silabus yang tersedia.  Namun, apabila dipandang hal itu menyu­lit­kan karena kolom yang tersedia tidak mencukupi, contoh instrumen penilaian diletakkan di dalam lampiran.




Berikut ini contoh kisi-kisi silabus dan system penilaian



BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Silabus dan sistem penilaian disusun berdasarkan prinsip yang berorientasi pada pencapaian kompetensi. Sesuai dengan prinsip tersebut maka silabus dan sistem penilaian mata pelajaran harus disusun sesuai dengan kebutuhan daerah/sekolah. Sehingga benar-benar menjadi pedoman guru dalam mengembangakan pembelajaran dan pengorganisasian seluruh komponen yang dapat mengubah perilaku peserta didik.
Silabus dan sistem penilaian berfungsi untuk mengetahuai kemajuan belajar siswa mendiagnosis kesulitan belajar, memberikan umpan balik, melakukan perbaiakan, memotivasi guru agar mengajar lebih baik, dan memotivasi siswa untuk belajar lebih baik. Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi adalah: valid, memdidik, berorientasi pada kompetensi, adil dan objektif, terbuka, berkesinambungan, menyeluruh, dan bermakna.

DAFTAR PUSTAKA


Abdul   Majid. (2006). Perencanaan   Pembelajaran.   Bandung:   PT  Remaja Rosdakarya. Agung  Tri  Wahyudi. (2010).
Benny  A  Pribadi. (2009). Model  Desain  Sistem  Pembelajaran. Jakarta: PT  Dian Rakyat.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Panduan Pengembangan Bahan Ajar.
Dwi Siswoyo, dkk. (2007). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Eko P Widoyoko. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Made Wena. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.


MAKALAH KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM KEPALA MADRASAH SEBAGAI PEMIMPIN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG

Para pakar pendidikan berpendapat, bahwa kepala sekolah merupakan tokoh kunci keberhasilan suatu sekolah. Kepala sekolah sama dengan kepala madrasah. Dengan kata lain, kepala madrasah adalah kunci keberhasilan pendidikan di madrasah. Karena itu, Sudarwan Danim (2004:96) menyebut kepala sekolah (baca madrasah) sebagai the key person – penanggung jawab utama atau faktor kunci – untuk membawa madrasah menjadi center of excellence, pusat keunggulan dalam mencetak dan mengembangkan sumber daya manusia madrasah. Apakah madrasah itu  menjadi efektif, menjadi madrasah yang sukses atau sebaliknya, semua tergantung dengan peran seorang kepala madrasah.
Keller memperjelas pertanyaan ini dengan ungkapan sebagai berikut: “the key to the educational cookie is the principal. The principal is the motivational yeast: how hight the students and the teachers rise to their challenge is the prrincipal’s responsibility”, (Sudarwan Danim, 2006 : 97). Secara operasional kepala madrasah adalah orang yang paling bertanggungjawab mengkoordinasikan, menggerakan, dan menyelaraskan semua sumber daya (resources) madrasah. Kepemimpinan kepala madrasah merupakan faktor pendorong untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran madrasah yang dipimpinnya menuju madrasah yang bermutu.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Kepemimpinan Pendidikan Islam
2.      Bagaimana tugas kepala sekolah
3.      Bagaimana kepemimpinan kepala sekolah

C.    TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Mengetahui pengertian kepemimpinan kepala sekolah
2.      Mengetahui tugas-tugas sebagai kepala sekolah
3.      Mengetahui bagaimana kepemimpinan kepala sekolah







BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian
Pengertian kepala sekolah ini dimaksudkan berlaku bagi seluruh pengelola lembaga pendidikan yang bisa meliputi kepala sekolah, kepala madrasah, direktur akademi, ketua sekolah tinggi, rektor institut atau universitas, kiai pesantren, dan sebagainya.
Mereka adalah pemimpin pendidikan, atau lebih konkretnya sebagai pemimpin lembaga pendidikan, apapun jenis atau coraknya. Sebab, mereka membawahi atau mengendalikan orang banyak sebagai bawahan yang struktural maupun tradisional mengikuti langkah-langkah pemimpinnya dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan, mulai dari tahap perencanaan hingga tahap evaluasi. Kiai pesantren memiliki kebijakan serba mono, yaitu monomanajemen, monokepemimpinan, monokeputusan, dan lain sebagainya, yang menimbulkan kesan kurang teratur dan otoriter. Sementara itu, kepala sekolah lebih tertib teratur serta melibatkan semua pihak yang terkait sehingga kepemimpinannya mencerminkan kepemimpinan demokratis-partisipatif.
Oleh karena itu, posisi kepala sekolah merupakan penentu masa depan sekolah. Mulyasa mengatakan, "kegagalan dan keberhasilan sekolah banyak ditentukan oleh kepala sekolah, karena mereka merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh sekolah menuju tujuannya".
Sekolah yang efektif, bermutu, dan favorit tidak lepas dari peran kepala sekolahnya. Pada umumnya, sekolah tersebut dipimpin oleh kepala sekolah yang efektif.
Studi keberhasilan menunjukkan bahwa kepala sekolah adalah seseorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah.
Bagi calon kepala sekolah, mereka memiliki perhatian yang tidak kalah besar terhadap proses suksesi, karena jika mereka berhasil menjadi kepala sekolah/madrasah, tentunya mereka dapat mengangkat status sosial, meningkatkan pendapatan, dan memegang peranan yang paling strategis di dalam lembaga pendidikannya.
Bila figur kepala sekolah benar-benar profesional, maka dapat menghasilkan berbagai keuntungan bagi lembaga pendidikan, seperti stabilitas, kemajuan, pengembangan, citra baik, respons positif dari masyarakat penghargaan dari negara, peningkatan prestasi, dan sebagainya. Bila figur kepala sekolah tidak profesional, maka justru menjadi musibah bagi lembaga pendidikan yang akan mendatangkan berbagai perugian. Misalnya, kemerosotan kualitas, penurunan prestasi, citra buruk, respons negatif dari masyarakat, kondisi labil, konflik yang tidak sehat, dan berbagai fenomena yang kontra produktif.
Wahjosumijo menyatakan bahwa kepala sekolah yang berhasil adalah mereka yang memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranannya sebagai seseorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah. Sedangkan Dede Rosyada menegaskan bahwa sekolah akan mencapai performa terbaik jika dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang kuat, visioner, konsisten, demokratis, dan berani mengambil putusan-putusan strategis.
Beberapa kasus membuktikan bahwa lembaga pendidikan yang di pimpin dengan cara-cara kreatif dalam menerjemahkan peraturan, bahkan tidak jarang keluar dari aturan, justru mampu mencapai kemajuan lebih cepat dari pada lembaga pendidikan yang dipimpin dengan cara yang sangat terikat pada peraturan.
Kepala sekolah selaku pemimpin, memang tidak selalu menjalankan roda organisasi berdasarkan perilaku kepemimpinan semata. Sudarwan Danim mengatakan bahwa kegagalan kepala sekolah untuk tampil berbeda secara berkeunggulan, menyebabkan sekolah tidak mampu berbuat optimal. Ada kalanya, kepala sekolah sesekali lebih menampakkan kekuasaan dari pada kepemimpinan.
Ketika birokrasi pendidikan di Departemen agama ingin menunjuk seorang kepala madrasah, sebelumnya akan lebih bagus jika merujuk lebih dahulu kepada hasil studi yang dilakukan oleh Gilberg Austin terhadap semua kepala sekolah di Amerika  Serikat. Hasil studi itu menunjukan perbedaan yang tajam antar sekolah yang berprestasi tinggi dengan yang berprestasi rendah, disebabkan oleh pengaruh yang besar dari kepala sekolah nya. Salah satu aspek yang paling lemah dalam dunia madrasah adalah aspek manajemen. Padahal pemberdayaan madrasah hanya dapat dilakukan apabila kepala madrasah memiliki kemampuan manajerial yang lebih dari pada kemampuan yang dimiliki sekarang, untuk membawa madrasah menjadi madrasah yang berkualitas.

B.            Tugas Kepala Sekolah
Tugas kepala sekolah adalah menjadi agen utama perubahan yang mendorong dan mengelola agar semua pihak yang terkait menjadi termotivasi dan berperan aktif dalam perubahan tersebut. Dalam pandangan Wahjosumidjo, keberhasilan sekolah berarti keberhasil kepala sekolah. Sebaliknya, keberhasilan kepala sekolah berarti keberhasilan sekolah.
Sebagai pemimpin pendidikan yang profesional, kepala sekolah dituntut untuk selalu memgadakan perubahan. Mereka harus memiliki semangat yang berkesinambungan untuk mencari terobosan-terobosan baru demi menghasilkan suatu perubahan yang bersifat mengembangkan dan menyempurnaan, dari kondisi yang memprihatikan menjadi kondisi yang lebih dinamis, baik dari segi fisik maupun akademik, seperti perubahan semangat keilmuan, atmosfir, dan meningkatkan strategi pembelajaran.
Kepala sekolah atau madrasah harus berusaha keras menggerakkan bawahannya untuk berubah, perubahan kondisi ini sebagai syarat untuk mendukung perubahan-perubahan sekolah yang lebih besar secara signifikan. Perlu di tanamkan sense of innovation (kesadaran untuk melakukan pembaharuan) pada mereka sebagai satu keniscayaan dalam memajukan lembaga pendidikan islam.
Menurut Mulyasa, wibawa kepala sekolah harus ditumbuh kembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan, dan hubungan manusiawi sebagai modal perwujudan iklim kerja yang kondusif. Kepala sekolah memiliki kekuatan moral menggerakkan bawahan untuk melakukan perubahan secara maksimal. Kekuatan moral ini bagi kepala sekolah diperoleh dari perilaku diri sendiri. Manakala mereka telah memberikan contoh dalam perilaku kesehariannya, maka contoh itu setidaknya menjadi modal awal untuk menggerakkan para bawahan agar mengikuti langkahnya. Kekuatan moral ini dapat memperkuat kekuatan kekuasaan atau kekuatan politik (political power) yang selama ini dimiliki dalam kapasitasnya sebagai kepala sekolah/madrasah, sebagai pemimpin lembaga pendidikan Islam.
C.           Kepemimpinan Kepala Sekolah
Paradigma baru manajemen pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas secara efektif dan efisien, perlu didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam hal ini pengembangan SDM merupakan proses peningkatan kemampuan manusia agar mampu melakukan pilihan-pilihan. Pengertian ini memusatkan perhatian pada pemerataan dalam peningkatan kemampuan manusia dan pemanfaatan kemampuan itu.
Paradigma pendidikan yang memberikan kewenangan luas kepada kepala sekolah dalam mengembangkan berbagai potensinya memerlukan peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam berbagai aspek manajerialnya, agar dapat mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi yang di emban sekolahnya.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Seperti yang di ungkapkan Supriadi bahwa ada kaitan yang erat antara mutu kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti disiplin sekolah, iklim budaya sekolah dan menurunnya perilaku nakal peserta didik (Mulyasa,2003 :24)
Dalam pada itu, kepala madrasah bertanggung jawab atas manajemen pendidikan secara mikro, yang secara langsung berkaitan dengan proses pembelajaran sekolah. Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 bahwa : “kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana”.
Apa yang di ungkapkan di atas menjadi lebih penting sejalan dengan semakin kompleksnya tuntutan kepala sekolah, yang menghendaki dukungan kinerja yang semakin efektif dan efisien. Disamping itu, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi seni, dan budaya yang diterapkan dalam pendidikan disekolah juga cenderung bergerak maju semakin pesat, sehingga menuntut penguasaan secara profesional.
Menyadari hal tersebut, setiap kepala sekolah dihadapkan pada tantangan untuk melaksanakan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana, dan bekesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam kerangka inilah dirasakan perlunya peningkatan manajemen kepala sekolah secara profesional untuk menyukseskan program-program pemerintah yang sedang digulirkan. Yakni otonomi daerah, desentralisasi dan sebagainya, yang kesemuanya ini menuntut peran aktif dan kinerja profesionalisme kepala sekolah.
Kepala sekolah harus memiliki visi dan misi, serta strategi manajemen pendidikan secara utuh dan berorientasi pada manajemen pendidikan secara utuh dan berorientasi kepada mutu. Strategi ini dikenal dengan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau Total Quality Manajement (TQM).
Strategi ini merupakan usaha sistematis dan terkoordinasi untuk secara terus menerus memperbaiki kualitas layanan, sehingga fokusnya diarahkan ke pelanggan dalam hal ini peserta didik, orang tua peserta didik, pemakai lulusan, guru, karyawan, pemerintah dan masyarakat.
Pengembangan profesionalisme kepala sekolah merupakan tugas dan wewenang para pengawas yang berada dibawah dan tanggung jawab kepada Kepala Dinas Pendidikan Nasional. Menurut keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 118 tahun 1996, tanggung jawab Pengawas Sekolah adalah :
1.             Melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pendidikan disekolah
2.             Meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar, serta bimbingan peserta didikdalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Sedangkan wewenang Pengawas Sekolah :
1.      Memilih dan menentukan metode kerja untuk mencapai hasil yang optimal dalam melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kode etik profesi, menetapkan tingkat kinerja guru dan tenaga lain yang diawasi serta faktor-faktor yng mempengaruhi
2.      Menentukan dan mengusulkan program pembinaan serta melakukan pembinaan.

Terkait dengan kepemimpinan madrasah, Wahjosumidjo mendefiisikan kepala madrasah sebagai tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin untuk madrasah memimpin suatu madrasah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. (Wahjosumidjo, 2005 ; 83)

BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Pengertian kepala sekolah ini dimaksudkan berlaku bagi seluruh pengelola lembaga pendidikan yang bisa meliputi kepala sekolah, kepala madrasah, direktur akademi, ketua sekolah tinggi, rektor institut atau universitas, kiai pesantren, dan sebagainya.
Sebagai pemimpin pendidikan yang profesional, kepala sekolah dituntut untuk selalu memgadakan perubahan. Mereka harus memiliki semangat yang berkesinambungan untuk mencari terobosan-terobosan baru demi menghasilkan suatu perubahan yang bersifat mengembangkan dan menyempurnaan, dari kondisi yang memprihatikan menjadu kondisi yang lebih dinamis, baik dari segi fisik maupun akademik, seperti perubahan semangat keilmuan, atmosfir, dan meningkatkan strategi pembelajaran.


DAFTAR PUSTAKA

Qomar, Mujamil, Dasar-dasar Manajemen Pendidikan Islam, Erlangga, 2010
 Kurniawan, Asep, Hand Out dasar-dasar manajemen pendidikan islam