DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................................
Daftar Isi................................................................................................................................
Pendahuluan..........................................................................................................................
BAB 1 : INDIVIDU MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
A. Individu Masyarakat Dan Kebudayaan....................................................... 1
B. Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Budaya...............................................
6
C. Pengertian Kebuadayaan............................................................................
7
D. Penggolongan Dan Wujud Kebudayaan....................................................
7
BAB II : PENDIDIKAN :
SOSIALISASI DAN ENKULTURASI
A. Pengertian
Pendidikan............................................................................... 10
B. Pengertian Sosialisasi..................................................................................10
C. Pengertian Enkulturasi............................................................................... 11
D. Proses Sosialisasi dalam pembentukan kepribadian................................... 12
E. Proses Enkulturasi...................................................................................... 13
F. Macam-macam sosialisasi..........................................................................
13
BAB
III : PENDIDIKAN PRANATA SOSIAL
A. Pengertian Pendidikan Sebagai Pranata Sosial......................................... 15
B. Fungsi Pranata Sosial Secara Umum.........................................................
20
C. Fungsi Pranata Dalam Pendidikan ............................................................ 20
D. Hubungan Pranata Sosial Dengan Pendidikan......................................... 20
BAB IV : PENDIDIKAN
FORMAL, INFORMAL, NON FORMAL
A. Pengertian.................................................................................................. 22
B. Persamaan ................................................................................................. 25
C.
Perbedaan Aspek Aspek Dalam Pendidikan............................................. 26
BAB V : PENDIDIKAN.
MASYARAKAT, DAN KEBUDAYAAN
A. Pengertian Pendidikan .............................................................................. 28
B. Pengertian Budaya....................................................................................
29
C. Pengertian
Masyarakat .............................................................................. 29
D. Hubungan Budaya
Dengan Pendidikan .................................................. 29
E. Hubungan Pendidikan
Masyarakat Dengan Masyarakat........................... 30
F. Hubungan Masyarakat
Dengan Kebudayaan ........................................... 30
BAB VI : POLA-POLA KEGIATAN SOSIAL PENDIDIKAN
A. Pola Nomothetis ....................................................................................... 32
B. Pola Ideografis..........................................................................................
33
C. Pola Transaksonal ...................................................................................... 35
BAB
VII : POLA SIKAP GURU KEPADA SISWA DAN IMPLIKASI NYA
TERHADAP FUNGSI DAN TIPE GURU
A. Pola Sikap Guru Kepada siswa......................................................................
B. Jenis – Jenis
Hubungan Guru – Murid...........................................................
C. Hubungan
Antara Hasil Belajar Murid Dengan Kelakuan Guru...................
D. Kelakuan
Murid Berhubungan Dengan Kelakuan Guru...............................
BAB
VIII : PERAN SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian
Sosiologi Pendidikan Islam.........................................................
B. Sebab
Munculnya Sosiologi Pendidikan Islam..............................................
C. Bidang
Kajian Sosiologi Pendidikan Islam...................................................
BAB IX : LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
DALAM KONTEKS SOSIOLOGI
BAB X : HUBUNGAN ANTAR MANUSIA DI
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
A. Hubungan
Manusia Dan Pendidikan.............................................................
B. Kaitan
Manusia, Kebudayaan Dan Pendidikan.............................................
BAB I
ORIENTASI FILSAFAT
A.
Pengertian Filsafat
Secara Etimologis, filsafat merupakan terjemahan
dari Philolophy (Bahasa Inggris) atau Philosophia dari
bahasa Yunani. Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu Philo dan Shopia.Philo
yang berarti suka atau cinta, dan Shopia berarti kebijaksanaan. Jadi, Philoshopia berarti
suka atau cinta pada kebijaksanaan.
Apabila diperhatikan bahwa nama Filosof (philosophos)
pertama kali dalam sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (570-500 SM).
Menurutnya, Filosof adalah seorang yang ingin untuk mengetahui segala
sesuatu menurut keadaan yang sebenarnya, keinginan tersebut semata-mata untuk
mengetahui dan juga mengatakan bahwa dalam masa Socrates dan Plato (abad ke-5
SM), nama filsafat dan filosuf sudah lazim dipakai untuk dalam dialog plato
yang berjudul Phaidros.
Mengenai Pengertian (Definisi) filsafat
tersebut, perlu dipahami bahwa filsafat memandang alam ini sebagai suatu
kesatuan yang tidak dipecah-pecah, sehingga ia membahasnya secara keseluruhan,
antara yang satu sama lainnya sehingga berkaitan.
Pertama, menurut Plato. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran yang asli.
Kedua, menurut Aristoteles
“filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika”.
Ketiga, menurut golongan Stoa
“filsafat ialah usaha untuk mencari kesempurnaan yang bersifat teori dan amalan
dalam bidang logika, fisika, dan etika.
Keempat, menurut al-Farabi filasafat
ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud sebagaimana hakikat yang sebenarnya.
Kelima, menurut Descartes
filsafat merupakan sekumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikan.
Banyak yang berkesimpulan tentang filsafat, seperti
yang dikemukakan oleh oleh DR. Yahya Huaidi, dosen filsafat pada Universitas
Cairo bahwa “filsafat itu tidak lebih dari suatu pemikiran, dimana orang harus
berpandangan biasa dan tidak terikat pada lapangan penyelidikan tertentu, seperti
halnya para ilmuan dan bukan pula bertolak dari suatu paham yang sudah diterima
kebenarannya lebih dahulu, seperti sikaf orang agama.
Selanjutnya, Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika
Filsafat mengemukakan bahwa berfilsafat ialah mencari kebenaran dari
kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan, dengan
berfikir secara radikal, sistematis dan universal (Sidi Gazalba:40)
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) mengartikan filsafat sebagai :
a.
Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal mengenai hakikat segala yang ada,
sebab, dan hukumnya.
b.
Teori yang mendasari alam pemikiran atau suatu kegiatan
c.
Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemology.
Kattsoff, sebagaimana dikutip
oleh Associate Webmaster Propessional (2001), menyatakan karakteristik filsafat
sebagai berikut :
1.
Filsafat adalah
berpikir secara kritis.
2.
Filsafat adalah
berpikir dalam bentuk sistematis.
3.
Filsafat menghasilkan
sesuatu yang runtut.
4.
Filsafat adalah
berpikir secara rasional.
5.
Filsafat bersifat
komprehensif
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat
mencakup tiga dimensi yaitu :
a) Logika ; apa
yang dimaksud benar dan apa yang dimaksud salah.
b) Etika ; mana
yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk.
c) Estetika ; apa
yang termasuk jelek dan apa yang termasuk indah.
Ketiga cabang utama ini akhirnya
bertambah lagi yaitu:
a) Metafisika ; teori tentang ada
(tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat serta pemikiran serta kaitan
antara zat dan pikiran).
b) Politik ; kajian mengenai
organisasi sosial/pemerintahan yang ideal.
Akhirnya berkembang lagi menjadi banyak
cabang yang meliputi:
a. Epistimologi (filsafat pengetahuan)
b. Etika (filsafat moral)
c. Estetika (filsafat seni)
d. Metafisika
e. Politik (filsafat
pemerintahan)
B. Objek Filsafat
Secara umum, filsafat mempunyai objek
yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada dan boleh juga diaplikasikan,
yaitu tuhan, alam semesta, dan sebagainya. Apabila diperhatikan secara seksama
objek filsafat tersebut dapat dikategorikan ada dua:
a.
Objek Material
Objek material ini adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran
atau penelitian keilmuan. Objek material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan
itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan
metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secar
umum.
b.
Objek Formal
Objek formal merubah objek khusus filsafat yang
sedalam-dalamnya (Poedjawijatna, 1994: 8).[6] Objek formal adalah
sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Suatu obyek
material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan ilmu
yang berbeda-beda.
Objek formal ini dapat dipahami melalui dua kegiatan:
1.
Aktivitas berfikir murni (reflective thinking) artinya kegiatan akal
manusia dengan usaha untuk mengerti dengan usaha untuk mengerti secara mendalam
segala sesuatunya sampai ke akar-akarnya.
2.
Produk kegiatan berfikir murni, artinya hasil dari pemikiran atau
penyelidikan dalam wujud ilmu atau ideologi.
Mengenai objek formal ini ada juga yang mengindentikan
dengan metafisika, yaitu hal-hal diluar jangkauan panca indra, seperti
persoalan esensi dan substansi alam, yaitu sebab utama terjadinya alam. Metafisika berasal
dari bahasa yunani, yaitu metha artinya di belakang,
sedangkan fisika artinya fisik atau nyata. Untuk itu dapat
dipahami pengertian methafisika adalah pemikiran yang jauh dan
mendalam dibalik apa yang bisa dijangkau oleh panca indra seperti Tuhan, asal
alam, hakikat manusia, dan sebagainya.
Bagi plato(+ 427-347
SM) filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling
akhir dari segala sesuatu yang ada. Sementara bagi Aritoteles(+ 384-322 SM)
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari “peri ada selaku
ada”(being as being) atau “peri ada sebagaimana adanya”(being as such). Dari
dua pernyataan tersebut, dapatlah diketahui bahwa “ada” merupakan objek materi
dari filsafat. Karena fisafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia
seluruhnya, termasuk dirinya sendirinya, maka “ada” disini meliputi segala
sesuatu yang ada dan, bahkan, yang mungkin ada atau seluruh ada. Jadi, secara
singkat dapat dikatakan, jika filsafat itu bersifat holistik atau keseluruhan,
sementara ilmu pengetahuan lainnya bersifat Fragmental atau bagian-bagian.
Persoalan filsafat
berbeda dengan persoalan nonfilsafat. Perbedaanya terletak pada materi dan
ruang lingkupnya.
Ciri-ciri persoalan filsafat adalah
sebagai berikut:
1.
Bersifat Umum, artinya persoalan kefilsafatan tidak bersangkutan dengan
objek-objek khusus dengan kata lain sebagian besar masalah kefilsafatan
berkaitan dengan ide-ide besar.
2.
Tidak menyangkut fakta. Dengan kata lain persoalan filsafat lebih bersifat
spekulatif. Persoalan-persoalan yang dihadapi melampaui batas-batas pengetahuan
ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang menyangkut fakta.
3.
Bersangkutan dengan nilai-nilai (Values), artinya
persoalan-persoalan kefilsafatan bertalian dengan penilaian baik nilai
moral-etika, estetika, agama, dan sosial. Nilai dalam pengertian ini adalah
suatu kualitas abstrak yang ada pada suatu hal.
4.
Bersifat kritis, filsafat merupakan analisi secara kritis terhadap
konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya diterima begitu saja oleh suatu ilmu
tanpa pemeriksaan secara kritis.
5.
Bersifat sinoptis, artinya persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan
secara keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan
sebagai keseluruhan.
6.
Bersifat implikatif, artinyakalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah
dijawab, maka dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling
berhubungan.
C.
Metode Filsafat
Filsafat adalah usaha
untuk mendapatkan gambaran keseluruhan dari kenyataan. Untuk mendapatkan hal
tersebut, filsafat memiliki beberapa metode penalaran.
1.
Deduksi
Secara sederhana, metode ini dapat dikatakan satu metode penalaran yang
bergerak dari sesuatu yang bersifat umum kepada yang khusus. Contohnya:
Semua manusia akan mati
Presiden adalah manusia
Presiden akan mati
2.
Induksi
Dikatakan satu metode penalaran yang bergerak dari sesuatu yang bersifat
khusus ke umum.
Ryan adalah seorang mahasiswa Aqidah Filsafat
Ryan adalah manusia
Semua mahasiswa Aqidah Filsafat adalah manusia
3.
Dialektika
Secara umum, metode ini dapat dipahami sebagai cara berfikir yang dalam
usahanya memperoleh kesimpulan berstandar pada tiga hal, yakni: tesis,
antitesis dan sintesis yang merupakan gabungan dari tesis dan antitesis. Contoh
sederhana untuk metode penalaran ini adalah keluarga. Dalam satu keluarga
biasanya terdapat ayah, ibu, dan anak. Jika ayah adalah tesis, maka ibu adalah
antitesis lantas anak merupakan sintesis karena keberadaanya ditentukan ayah
dan ibu.
D.
Peranan, Tujuan, dan Manfaat Filsafat
Filsafat merupakan
suatu upaya berfikir yang jelas dan terang tentang seluruh kenyataan, upaya ini
menghasilkan beberapa peranan bagi manusia.
Filsafat berperan
sebagai pendobrak. Artinya bahwa filsafat mendobrak keterjungkungan pikiran
manusia. Dengan memahami, dan mempelajari filsafat manusia dapat menghancurkan
kebekuan, kabakuan, bahkan keterkungkungan pikirannya dengan kembali
mempertanyakan segala. Pendobrakan ini bisa membuat manusia terbebas dari
kebekuan, dan keterkungkungan.
Jadi, bagi manusia
filsafat berperan sebagai pembebas pikiran manusia. Pembebasan ini membimbing
manusia untuk berpikir lebih jauh, lebih mendalam, lebih kritis terhadap segala
hal sehingga manusia bisa mendapatkan kejelasan dan keterangan atas seluruh
kenyataan.
Jadi peranan ketiga
yang dimiliki filsafat bagi manusia adalah sebagai pembimbing. Selain memiliki
peran bagi manusia, filsafat juga berperan bagi ilmu pengetahuan umumnya.
Menurut Descartes, filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang
pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
Filsafat sebagai
penghimpun ilmu pengetahuan. Memahami peranannya sebagai penghimpun, maka
filsafat dapat dikatakan merupakan induk segala ilmu pengetahuan atau mater
scientiarum. Bagi Bacon, filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu.
Ia menangani semua pengetahuan, selain sebagai induk yang menghimpun semua
pengetahuan, bagi ilmu pengetahuan filsafat juga mempunyai peranan lain, yakni
sebagai pembantu ilmu pengetahuan.
Dalam menjalan
peranannya filsafat memiliki tujuan. Menurut Plato, filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Jadi, secara
umum, tujuan filsafat adalah meraih kebenaran. Tidak sepetri agama
yang menyandarkan diri dan mengajarkan kepatuhan, filsafat menyandarkan diri
dan mengandalkan kemampuan berfikir kritis.
Secara konkret
manfaat mempelajari filsafat adalah:
a.
Filsafat menolong
mendidik, membangun diri kita sendiri dengan pikiran lebih mendalam, kita
mengalami dan menyadari kerohanian kita.
b.
Filsafat memberikan
kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam
hidup sehari-hari.
c.
Filsafat memberikan
pandangan yang luas, membendung akuisme dari akusentrisme (dalam segala hal
hanya melihat dan mementingkan kepentingan dan kesenangan si aku).
d.
Filsafat merupakan
latihan untuk berfikir sendiri, hingga kita tak hanya ikut-ikutan saja,
membuntut pada pandangan umum, percaya akan setiap semboyan dalam surat-surat
kabar, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai
pendapat sendiri, berdiri sendiri, dengan cita-cita mencari kebenaran.
e.
Filsafat memberikan
dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri(terutama dalam etika) maupun untuk
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan
sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Menejemen
Menurut
Nanang Fattah (2000:1) bahwa manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat, dan
profesi. Dikatakan sebagai ilmu oleh Luther Gulick sebagaimana dikutip oleh
Nanang Fattah (2000: 1) karena manajemen dipandang sebagai suatu bidang
pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana
orang bekerja sama. Dikatakan sebagai kiat oleh Follet sebagaimana dikutip oleh
Nanang Fattah (2000: 1) karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan
mengatur orang lain menjalankan dalam tugas. Selanjutnya Fattah mengatakan,
dipandang sebagai profesi karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk
mencapai suatu prestasi manajer, dan para profesional dituntun oleh suatu kode
etik.
Sementara itu, H.A.R. Tilaar (2002: 10-11)
mengemukakan bahwa manajemen pada hakikatnya berkenaan dengan cara-cara
pengelolaan suatu lembaga agar supaya lembaga tersebut efisien dan efektif.
Suatu lembaga akan efisien apabila investasi yang ditanamkan di dalam lembaga
tersebut sesuai atau memberikan provit sebagaimana yang diharapkan.
Selanjutnya, suatu institusi akan efektif apabila pengelolaannya menggunakan
prinsip-prinsip yang tepat dan benar sehingga berbagai kegiatan di dalam
lembaga tersebut dapat mencapai tujuan sebagaimana yang telah direncanakan.
Meskipun cenderung mengarah pada satu
fokus tertentu, para ahli masih berbeda pandangan dalam mendefinisikan
manajemen dan karenanya belum dapat konsensus bahwa manajemen menyangkut
derajat keterampilan tertentu.Untuk memahami istilah manajemen, pendekatan yang
dipergunakan di sini adalah berdasarkan pengalaman manajer. Meskipun pendekatan
ini mempunyai keterbatasan, namun hingga kini belum ada perbaikan.Manajemen di
sini dilihat sebagai suatu sistem yang setiap komponennya menampilkan sesuatu
untuk memenuhi kebutuhan.Manajemen
merupakan suatu proses sedangkan manajer dikaitkan dengan aspek organisasi
(orang-struktur-tugas-teknologi) dan bagaimana mengaitkan aspek yang satu
dengan yang lain, serta bagaimana mengaturnya sehingga tercapai tujuan sistem
(Nanang Fattah, 2000: 1).
Dalam
kenyataannya manajemen sulit dedifenisikan karena tidak ada defenisi manajemen
yang diterima secara universal. Chaster I Bernard dalam bukunya yang berjudul
The function of the executive, bahwa manajemen yaitu seni dan ilmu, juga Henry
Fayol, Alfin Brown Harold, Koontz Cyril O’donnel dan Geroge R. Terry. Mary
Parker Follet pun mendefenisikan manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan
pekerjaan melalui orang lain. Hal ini berarti bahwa para manajer untuk mencapai
tujuan organisasinya harus melalui kerjasama orang lain untuk melaksanakan
berbagai tugas yang mungkin dilakukan. Manajemen memang bisa berarti seperti
itu, tetapi bisa juga mempunyai pengertian lebih dari pada itu. Sehingga dalam kenyataannya
tidak ada defenisi yang digunakan secara konsisten oleh semua orang,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Manajemen
sebagai suatu sistem (management as a system) adalah kerangka kerja
yang terdiri dari beberapa komponen/bagian, secara keseluruhan saling berkaitan
dan diorganisir sedemikian rupa dalam rangka mencapai tujuan organisasi
b.
Manajemen
sebagai suatu fungsi (management as a function) adalah suatu
rangkaian kegiatan yang masing-masing kegiatan dapat dilaksanakan tanpa
menunggu selesainya kegiatan lain, walaupun kegiatan tersebut saling berkaitan
dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi
c.
Manajemen
sebagai suatu proses (management as a process) adalah serangkaian
tahap kegiatan yang diarahkan pada pencapaian suatu tujuan dengan pemanfaatan
semaksimal mungkin sumber-sumber yang tersedia
d.
Manajemen
sebagai kumpulan orang (management as people / groupof people) adalah
suatu istilah yang dipakai dalam arti kolektif untuk menunjukkan jabatan
kepemimpinan di dalam organisasi antara lain kelompok pimpinan atas, kelompok
pimpinan tengah dan kelompok pimpinan bawah.
e.
Manajemen sebagai Ilmu dan Seni
Luther
Gulick mendefinisikan manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan (science)
yang berusaha secara sistematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia
bekerja bersama untuk mencapai tujuan dan membuat system kerjasama ini lebih
bermanfaat bagi kemanusiaan. Menurut Gulick manajemen telah memenuhi
persyaratan untuk disebut bidang ilmu pengetahuan, karena telah dipelajari
untuk waktu yang lama dan telah diorganisasi menjadi suatu rangkaian teori.
Teori-teori ini terlalu umum dan subyektif. Tetapi teori manajemen selalu diuji
dalam praktek, sehingga menajemen sebagai ilmu akan terus berkembang.
Manajemen bukan hanya ilmu tapi juga seni.
Kombinasi ini tidak dalam proporsi yang tetap tetapi dala proporsi yang
bermacam-macam. Pada umumnya para manajer efektif mempergunakan pendekatanIlmiah dalam
pembuatan keputusan, apalagi dengan berkembangnya peralatan komputer. Dilain
pihak dalam banyak aspek perencenaan, kepemimpinan, komuniksi dan segala
sesuatu yang menyangkut unsur manusia, bagaimanapun manajer harus juga
menggunakan pendekatan artistic (Seni).
f.
Manajemen sebagai Profesi
Banyak usaha telah dilakukan untuk mengklasifikasi
manajemen sebagai suatu profesi. Edgar H.Scheintelah
menguraikan karakteristik-karakteristik atau kriteria-kriteria untuk menentukan
sesuatu sebagai profesi yang dapat
diperinci sebagai berikut :
1.
Para profesional membuat keputusan atas dasar
prinsip-prinsip umum. Adanya pendidikan, kursus-kursus dan program-program
latihan formal menunjukan bahwa ada prinsip-prinsip manajemen tertentu yang
dapat diandalkan.
2.
Para professional mendapatkan status mereka karena mencapai
standar profesi kerja tertentu, bukan karena favoritisme atau karena suku
bangsa atau agamanya dan kriteria politik atau sosial lainnya.
3.
Para professional harus ditentukan oleh suatu kode etik
yang kuat, dengan disiplin untuk mereka yang menjadi kliennya.
Manajemen telah berkembang menjadi bidang yang semakin
profesional melalui perkembangan yang menyolok program-program latihan
manajemen di universitas-universitas ataupun lembaga-lembaga manajemen swasta,
dan melalui pengembangan para eksekutif organisasi (perusahaan).
Dalam proses manajemen terlibat fungsi-fungsi
pokok yang ditampilkanolehseorangmanajer/pimpinan,yaitu: Perencanaan (Planning),Pengorganisasian (Organizing),Pemimpinan(Leaing),
dan Pengawasan (Controlling). Oleh karena itu, manajemen diartikan
sebagai proses merencana, mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya
organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara
efektif dan efisien.
B. Tujuan Manajemen
Menurut Shrode Dan Voich sebagaimana dikutip
oleh Nanang Fattah (2000: 15) tujuan utama manajemen adalah produktivitas dan kepuasan.Mungkin
saja tujuan ini tidak tunggal bahkan jamak atau rangkap, seperti peningkatan
mutu pendidikan/lulusannya, keuntungan/profit yang tinggi, pemenuhan kesempatan
kerja, pembangunan daerah/nasional, tanggung jawab sosial.Tujuan-tujuan ini
ditentukan berdasarkan penataan dan pengkajian terhadap situasi dan kondisi
organisasi, seperti kekuatan dan kelemahan, peluang, dan
ancaman.
Apabila
produktivitas merupakan tujuan maka perlu dipahami makna produktivitas itu
sendiri. Sutermeister
sebagaimana dikutip oleh Nanang Fattah (2000: 15) membataskan produktivitas
sebagai ukuran kuantitas dan kualitas kinerja dengan mempertimbangkan
kemanfaatan sumber daya. Produktivitas
itu sendiri dipengaruhi perkembangan bahan, teknologi, dan kinerja manusia. Pengertian konsep
produktivitas berkembang dari pengertian teknis sampai dengan perilaku. Produktivitas dalam arti
teknis mengacu kepada derajat keefektifan, efesiensi dalam penggunaan sumber
daya.Sedangkan dalam pengertian perilaku, produktivitas merupakan sikap mental
yang senantiasa berusaha untuk terus berkembang.Berdasarkan pengertian teknis
produktivitas dapat diukur dengan dua standar utama, yaitu produktivitas fisik
dan produktivitas nilai.
Secara
fisik, produktivitas diukur secara kuantitatif seperti banyaknya keluaran
(panjang, berat, lamanya waktu, jumlah). Sedangkan berdasarkan
nilai, produktivitas diukur atas dasar nilai-nilai kemampuan sikap, perilaku,
disiplin, motivasi, dan komitmen terhadap pekerjaan/tugas.
Diketahui
oleh banyak pihak bahwa Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah secara umum
selama ini lebih pada aspek kognitif saja. Sekolah-sekolah yang ada
dirasakan oleh beberapa kalangan tidak produktif menghasilkan peserta didik yang
berkarakter. Persoalan
itu dipertegas lagi dengan merosotnya akhlaq generasi sekarang.
C.
Prinsip-
Prinsip Manajemen
a. Prinsip Manajemen Berdasarkan Sasaran
(MBS)
Istilah MBS pertama
kali dipopulerkan sebagai suatu pendekatan terhadap perencanaan oleh Peter
Drucker (1954). Sejak itu, MBO (Management
By Objectivitas) telah memacu banyak pengkajian, evaluasi, dan riset. MBO
merupakan tehnik manajemen yang membantu memperjelas dan menjabarkan tahapan
tujuan 28 organisasi.Dengan MBO dilakukan oroses penentuan tujuan bersama
antara atasan dan bawahan.Manajer tingkat atas bersama-sama dengan manajer
tingkat bawah bersama-sama menentukan tujuan unit kerja agar serasi dengan
tujuan organisasi.Tujuan organisasi adalah segala sesuatu yang harus dicapai
orgabisasi dalam melaksanakan misinya.
Menurut John R.
Schermenhorn bahwa organisasi pada dasarnya mempunyai tujuan resmi yang disebut
misi, dan tujuan operasi.Misi organisasi membantu organisasi dalam
identifikasi, integrasi, kolaborasi, adaptasi, dan pembaruan diri.Sedangkan
tujuan operasi mencapai tingkat keuntungan, posisi pasar, sumber daya,
efisiensi, kualitas, inovasi dan tanggung jawab sosial. Bagaimana tujuan-tujuan itu dicapai merupakan
hal yang sangat penting. Manajer harus menetapkan sasaran atau sekurang-kurangnya
aktif terlibat dalam proses penentuan sasaran.
b. Prinsip Manajemen Berdasarkan
Orang (MBO)
Manajemen
berdasarkan orang merupakan suatu konsep manajemen modern yang mengkaji
keterkaitan dimensi perilaku, komponen sistem dalam kaitannya dengan perubahan
dan pengembangan yang muncul sebagai akibat tuntutan lingkungan internal dan
eksternal, membawa implikasi terhadap perubahan perilaku dan kelompok dan
wadahnya.Manajer pada umumnya bekerja pada lingkungan yang selalu
berubah.Perubahan lingkungan yang bermacam-macam, menuntut organisasi selalu
menyesuaikan diri. Salah satu upaya yang paling penting adalah dengan
mengembangkan sumber daya manusia.Namun, pengembangan SDM harus diimbangi
dengan pengembangan organisasi.
Tuntutan perubahan
organisasi juga sering ditemukan dalam berbagai konflik, baik konflik individu,
kelompok, maupun antarkelompok. Konflik ini mengharuskan adanya restrukturisasi
atau perubahan dan penataan pekerjaan, dan desain organisasi yang ada. Oleh
karena itu, tuntutan akan perubahan merupakan sesuatu yang tidak terelakkan.
Perubahan perilaku dan perubahan organisasi merupakan bagian esensial dari
manajemen inovasi sebagai dampak globalisasi di berbagai bidang
kehidupan.
c. Prinsip Manajemen Berdasarkan Informasi (MBI)
Perencanaan
pengorganisasian, pemimpinan dan pengawasan merupakan kegiatan manajerial yang
pada hakikatnya merupakan proses pengambilan keputusan. Semua kegiatan tersebut
membutuhkan informasi.Informasi yang dibutuhkan oleh manajer disediakan oleh
suatu sistem informasi manajemen (Management
Information System/MIS) yaitu suatu sistem yang menyediakan informasi untuk
manajer secara teratur.Informasi ini dimanfaatkan sebagai dasar untuk melakukan
pemantauan dan penilaian kegiatan serta hasil-hasil yang dicapai.
Menurut
Shrode D. Voich informasi merupakan sumber dasar bagi organisasi dan esensial
agar operasionalisasi dan manajemen berfungsi secara efektif. Informasi yang
dibutuhkan oleh manajer berkenaan dengan konsumen, pemasok, dan lingkungan
untuk menentukan pilihan dan perencanaan, Gordon B. Davis mengartikan sistem
informasi manajemen sebagai sebuah sistem manusia/mesin yang terpadu untuk
menyajikan insformasi guna mendukung fungsi informasi, manajemen, dan
pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Sistem itu sendiri ada karena
berbagai tekanan untuk mengembangkan informasi seirama dengan perkembangan
lingkungan.
D.
Teori-Teori
Manajemen
a. Teori Klasik
Teori klasik
berasumsi bahwa para pekerja atau manusia itu sifatnya rasional, berfikir
logik, dan kerja merupakan suatu yang diharapkan. Oleh karena itu teori klasik
berangkat dari premis bahwa organisasi bekerja dalam proses yang logis dan
rasional dengan pendekatan ilmiah dan berlangsung menurut struktur/anatomi
organisasi. Salah satu teori klasik adalah Manajemen Ilmiah (Scientific
Management) dipelopori oleh Frederik W. Taylor (1856-1915).
Pendekatan ilmiah ini berpandangan bahwa yang
menjadi sasaran manajemen adalah mendapatkan kemakmuran maksimum bagi pengusaha
dan karyawannya. Prinsip Studi Waktu, dinyatakan bahwa semua usaha yang
produktif harus diukur dengan studi waktu secara teliti (Time and Motion
Study). Ukuran standar harus diberikan untuk semua pekerjaan.Studi waktu
ini dipelopori oleh Gilbreth (1911).Selain itu, prinsip Hasil-Upah, yaitu upah
yang diberikan harus sesuai dengan hasil yang besarnya ditentukan berdasarkan
studi waktu.
Pelopor klasik lainnya yaitu Henri Fayol
(1916) menerbitkan Administration Industrielle et Generale yang berisi
lima pedoman manajemen, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pengkomandoan,
pengkoordinasian dan pengawasan. Selanjutnya Gulick dan Urwick (1930) popular
dengan akronim POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing,
Coordinating, Reporting, Budgetting) sebagai kegiatan manajerial dan
merupakan proses manajemen. Aliran klasik lainnya dipelopori oleh Max Weber
(1947), waktu itu sering terjadi pertentangan pada kalangan buruh.
Menurut Weber birokrasi merupakan ciri dari pola organisasi yang strukturnya
dibuat sedemikian rupa sehingga secara maksimal dapat memanfaatkan tenaga ahli.
Organisasi harus diatur secara rasional, impersonal dan bebas dari sikap
prasangka.
b. Teori Neo-Klasik
Teori ini timbul sebagian karena pada para
manajer terdapat berbagai kelemahan dengan pendekatan klasik.Pada kenyataannya
manajer ada kesulitan dan menjadi frustasi karena orang tidak selalu mengikuti
pola tingkah laku yang rasional.Di sini perlu upaya untuk membantu para manajer
dalam menghadapi manusia, agar organisasi lebih efektif. Beberapa ahli berusaha
memperkuat teori klasik dengan wawasan sosiologi dab psikologi. Dengan adanya
peralihan yang lebih berorientasipada manusia dikenal dengan pendekatan
perilaku sebagai ciri utama teori Neo-Klasik.Teori ini berasumsi bahwa manusia
itu makhluk sosial dengan mengaktualisasikan dirinya. Beberapa pelopor aliran
neo-klasik ini antara lain: Elton Mayo dengan Studi Hubungan antar-Manusia,
atau tingkah laku manusia dalam situasi kerja terkenal dengan Studi Hawthorne.
Berdasarkan hasil studi ini ternyata kelompok kerja informal lingkungan sosial
pekerja mempunyai pengaruh yang besar terhadap produktivitas.
Pengikut aliran ini Chester I. Barnard (1976)
yang menyatakan bahwa hakikat organisasi adalah kerjasama, yaitu kesediaan
orang saling berkomunikasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan
bersama.Individu harus bekerja sesuai dengan kehendak organisasi.Keseimbangan
harus dijaga antara imbalan yang diberikan kepada individu dan sumbangan
individu terhadap tercapainya tujuan organisasi. Dengan begitu Barnard
berpendapat bahwa: Suatu manajemen dapat bekerja secara efisien dan tetap hidup
jika tujuan organisasi dan kebutuhan perorangan yang bekerja pada organisasi
itu dijaga seimbang. Pelopor lainnya adalah Douglas McGregor, ia menyatakan
bahwa manajemen akan mendapatkan manfaat besar bila ia menaruh perhatian pada
kebutuhan sosial dan aktualisasi diri karyawan.
Gregor mengemukakan dua teori, yaitu Teori X
yang berasumsi bahwa manusia itu/karyawan tidak menyukai kerja, tidak ada
ambisi, tidak bertanggung jawab, menolak perubahan dan lebih baik dipimpin
daripada memimpin.Sedangkan teori Y mengandung isi bahwa manajer memandang
bawahan bersedia bekerja, bertanggung jawab, mampu mengendalikan diri, dan
berpandangan luas serta kreatif.
c. Teori Modern
Pendekatan modern berdasarkan hal-hal yang
sifatnya situasional.Artinya orang menyesuaikan diri dengan situasi yang
dihadapi dan mengambil keputusan sesuai dengan situasi dan kondisi
lingkungan.Asumsi yang dipakai ialah bahwa orang itu berlainan dan berubah baik
kebutuhannya, reaksinya, tindakannya yang semuanya bergantung pada
lingkungan.Selanjutnya orang itu bekerja di dalam suatu sistem untuk mencapai
tujuan bersama.
Menurut Murdick dan Ross, sistem organisasi
itu terdiri dari individu, organisasi formal, organisasiinformal, gaya
kepemimpinan, dan perangkat fisik yang satu sama lain saling berhubungan.
Pendekatan sistem terhadap manajemen berusaha untuk memandang organisasi
sebagai sebuah sistem yang menyatu dengan maksud tertentu yang terdiri atas
bagian-bagian yang saling berhubungan. Pendekatan sistem tidak secara terpisah
berhubungan dengan berbagai bagian dari sebuah organisasi melainkan memberikan
kepada manajer suatu cara untuk memandang organisasi sebagai keseluruhan dan
sebagai bagian dari yang lebih besar (lingkungan). William A. Shrode dan D.
Voich mendefinisikan sistem sebagai berikut: A system is a set of interrelated parts, working indepently and jointly,
in pursuit of common objectives of the whole within a compleks anvironnment.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Fitz Gerald dan Stalling, sistem
yang diartikan 27 sebagai berikut: A system can be defined as a network of
interrelated procedures that are in joint together to perfroman activity or to
accomplish a specific objectives. It is, in effect, all ingredient which make
up the whole.
E. Praktik Manajerial / Out-Put
Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar
yang akan selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan
acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai
tujuan. Fungsi manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang
industrialis Perancis bernama Henry Fayol pada awal abad ke-20. Ketika
itu, ia menyebutkan lima fungsi manajemen, yaitu merancang, mengorganisir,
memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan. Namun saat ini, kelima fungsi
tersebut telah diringkas menjadi tiga yaitu:
1. Perencanaan (planning)
Perencanaan (planning) adalah
memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan
dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara
terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana
alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang
dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan
merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa
perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan.
2.
Pengorganisasian
(organizing)
Pengorganisasian (organizing) dilakukan
dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih
kecil.Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan
menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas yang telah
dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan
tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana
tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas
tersebut, dan pada tingkatan mana keputusan harus diambil.
3. Pengarahan (directing)
Pengarahan (directing) adalah
suatu tindakan untuk mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk
mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha.
Untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan diperlukan alat-alat sarana (tools). Tools merupakan syarat suatu usaha untuk
mencapai hasil yang ditetapkan.Tools tersebut dikenal dengan 6M, yaitu men, money, materials, machines,
method, dan markets.
Man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi. Dalam
manajemen, faktor manusia adalah yang paling menentukan. Manusia
yang membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan proses untuk mencapai
tujuan. Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab pada dasarnya manusia
adalah makhluk kerja. Oleh karena itu, manajemen timbul karena adanya
orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Uang
(money) merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan.Uang
merupakan alat tukar dan alat pengukur nilai.Besar-kecilnya hasil kegiatan
dapat diukur dari jumlah uang yang beredar dalam perusahaan. Oleh karena itu uang merupakan alat (tools) yang
penting untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu harus diperhitungkan secara
rasional. Hal ini akan berhubungan dengan berapa uang yang harus disediakan
untuk membiayai gaji tenaga kerja, alat-alat yang dibutuhkan dan harus dibeli
serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu organisasi.
Material terdiri
dari bahan setengah jadi (raw material) dan bahan jadi.Dalam dunia usaha
untuk mencapai hasil yang lebih baik, selain manusia yang ahli dalam bidangnya
juga harus dapat menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu sarana.
Sebab materi dan manusia tidaki dapat dipisahkan, tanpa materi tidak
akantercapai hasil yang dikehendaki.
Machine atau Mesin digunakan untuk memberi kemudahan atau menghasilkan keuntungan yang lebih besar
serta menciptakan efesiensi kerja.
Metode adalah suatu tata cara kerja yang memperlancar jalannya pekerjaan
manajer. Sebuah metode daat dinyatakan sebagai penetapan cara pelaksanaan kerja
suatu tugas dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan kepada
sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta uang dan
kegiatan usaha. Perlu diingat meskipun metode baik, sedangkan orang yang
melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai pengalaman maka hasilnya
tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan utama dalam manajemen tetap
manusianya sendiri.
Market atau pasar adalah tempat di mana
organisasi menyebarluaskan (memasarkan) produknya. Memasarkan produk sudah
barang tentu sangat penting sebab bila barang yang diproduksi tidak laku, maka
proses produksi barang akan berhenti. Artinya, proses kerja tidak akan
berlangsung. Oleh sebab itu, penguasaan pasar dalam arti menyebarkan hasil
produksi merupakan
faktor menentukan dalam perusahaan.Agar pasar dapat dikuasai maka kualitas dan
harga barang harus sesuai dengan selera konsumen dan daya beli (kemampuan)
konsumen.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan
Pendidikan
adalah sebuah upaya cermat, sistematis, berkesinambungan untuk melahirkan,
menularkan dan memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, keterampilan dan
perasaan-perasaan dalam setiap kegiatan belajar yang dihasilkan dari kegiatan
tersebut baik langsung maupun tidak langsung, baik disengaja maupun tidak. Pengertian menurut para ahli yaitu :
1.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun
2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Menurut Hasan Langgulung, pendidikan adalah sebagai usaha untuk memasukan
ilmu pengetahuan diri orang yang dianggap memilikinya kepada mereka yang
dianggap belum melikinya.
3. Menurut Ahmad tafsir, pendidikan adalah
pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, yang mencakup pendidikan oleh diri
sendiri, pendidikan oleh lingkungan dan pendidikan oleh orang lain (guru).
4. Manurut M.J Langeveld, pendidikan adalah
usaha pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak yang
ditujukan kepada pendewasaan anak atau lebih tepat membantu anak agar cukup
cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
5. Menurut Emile Durkheim, pendidikan
adalah proses mempengaruhi yang dilakukan oleh manusia (generasi dewasa) kepada
mereka yang dipandang belum siap melaksanakan kehidupan sosial, sehingga
sasaran yang ingin dicapai melalui pendidikan.
B.
Prinsip-Prinsip Pendidikan
1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
a. Pendidikan sistem terbuka yaitu fleksibilitas
pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan
b. Pendidikan multimakna yaitu proses
pendidikan yang diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan,
pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup
3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran.
5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan.
C.
Tujuan Pendidikan
1.
Mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
tuhan yang maha esa,
2.
Berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri
3.
Menjadi
warga negara yang demokratis serta tanggung jawab
4.
menumbuhkan
pola kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak,
penalaran, perasaan dan indera.
5.
memanusiakan manusia,atau mengantarkan
peserta didik untuk dapat menemukan jati dirinya.
D.
Pentingnya Pendidikan Bagi Manusia
1. Memberikan Pengetahuan Sebuah efek
langsung pendidikan adalah mendapat pengetahuan. Pendidikan memberikan kita
pengetahuan tentang dunia sekitar, mengembangkan perspektif kita dalam
memandang kehidupan dan membantu kita membentuk pendapat dan mengembangkan
sudut pandang.
2. Untuk Karir/Pekerjaan Pendidikan penting
karena melengkapi kita dengan keahlian yang diperlukan dalam membantu kita
mewujudkan tujuan karir kita.
3. Membangun Karakter Pendidikan penting
karena engajarkan kita perilaku yang benar dan sopan santun, sehingga ebuat
kita beradab. Pendidikan adalah dasar dari budaya dan peradaban. Hal ini
penting dalam pengembangan nilai-nilai dan kebajikan kita. Pendidikan memupuk
kita menjadi individu dewasa, individu yang mampu merencanakan masa depan, dan
mengambil keputusan yang tepat dalam
hidup..
4. Membantu Kemajuan Bangsa Meskipun tidak
terdaftar sebagai salah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia, pendidikan
adalah sama fungsinya. Untuk kemajuan bangsa, untuk pengayaan masyarakat pada
umumnya pendidikan itu penting.
E.
Keharusan Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu
keharusan, karena pada hakikatnya manusia dilahirkan dengan keadaan tidak
berdaya karena ia membutuhkan bantuan orang lain belum bisa melakukan segala
sesuatunya sendiri. Tentu saja dalam suatu pendidikan seseorang tidak bisa
langsung melakukan semuanya sendiri karena pada saat lahir seorang manusia
tidak langsung dewasa dan memahami nilai dan moral yang ada dikehidupan
sehingga manusia itu perlu dibimbing. Manusia juga tidak akan memiliki rasa tanggung
jawab untuk menanggung segala konsekuensi dan perbuatannya tanpa mengalami
proses pendidikan yang terbentuk dari suatu kebiasaan.
Ada beberapa dasar alasan mengapa
anak didik harus di didik, diantaranya sebagai berikut:
1. Dasar
Biologis
2. Implikasi
3. Dasar
Sosio-antropologis
BAB
IV
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat Pendidikan
Menurut
Kneller (1971), filsafat pendidikan merupakan aplikasifilsafat dalam lapangan
pendidikan. Seperti halnya filsafat, filsafat pendidikan dapat dikatakan
spekulatif, preskriptif dan analitik.
Menurut
al-Syaibani (1979 : 36), filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang
teratur, yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan
dan memadukan proses pendidikan. Filsafat pendidikan juga dapat didefinisikan
sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek
pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip
dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan
persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.
Dari
uraian diatas dapat ditarik suatu pengertian bahwa filsafat pendidikan sebagai
ilmu pengetahuan normatif dalam bidang pendidikan merumuskan kaidah-kaidah,
norma-norma dan / atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya
dilaksanakan oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya
B.
Sifat Filsafat Pendidikan
1. Spekulatif
Filsafat pendidikan dikatakan
spekulatif karena berusaha membangun teori-teori hakikat manusia, hakikat
masyarakat, hakikat dunia, yang sangat bermanfaat dalam menafsirkan data-data
sebagai hasil hasil penelitian sains yang berbeda.
2. Preskriptif
Filsafat pendidikan dikatakan
preskriptif apabila filsafat pendidikan menentukan tujuan-tujuan yang harus
diikuti dan dicapainya, dan menentukan cara-cara yang tepat dan benar untuk
digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Karena secara tersurat menentukan
tujuan pendidikan yang akan dicapai.
3. Analitik
Filsafat pendidikan dikatakan
analitik, apabila filsafat pendidikan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan
spekulatif dan preskriptif. Misalnya menguji rasinalitas yang berkaitan dengan
ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan dan menguji bagaimana konsistensinya
dengan gagasan lain. Misalnya kita memperkenalkan konsep “Cara Belajar Siswa
Aktif”. Filsafat pendidikan analitik menguji logis konsep-konsep
pendidikan, seperti apa yang dimaksud dengan : “Pendidikan Dasar 9 Tahun”,
“Pendidikan Akademik”, “Pendidikan Seumur Hidup” dan sebagainya.
C.
Pentingnya Filsafat bagi Pendidikan
1. Pendidikan memerlukan filsafat karena pendidikan
adalah kebutuhan azasi bagi kehidupan manusia dan hanya manusia yang dapat
melaksanakan pendidikan. Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk
memecahkan berbagai masalah kehidupan, termasuk masalah pendidikan yang
merupakan bagian penting dalam proses kehidupan manusia;
2. Proses dan masalah pendidikan tidak
hanya pelaksanaan pendidikan secara teknis, dan tidak hanya berkaitan dengan
berbagai persoalan yang lebih mendasar, mendalam dan kompleks yang tidak
terjangkau oleh sains pendidikan;
3. Tujuan pendidikan senantiasa berhubungan
secara langsung dengan tujuan hidup
individu dan masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Pendidikaan tidak
akan dapat dimengerti tanpa memahami tujuan akhirnya , dan tujuan akhir
pendidikan identik dengan tujuan hidup. Sedangkan tujuan hidup berkaitan dengan
hierarki nilai yang dianut oleh individu dan masyarakat, dan itu merupakan
wilayah filsafat yang tidak bisa dijangkau oleh ilmu;
4. Filsafat
dalam arti analisa filsafat adalah merupakan salah satu cara pendekatan yang
digunakan para ahli pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan dan
menyusun teori-teori pendidikannya, di samping menggunakan metode-metode
ilmiahnya lainnya.;
5. Filsafat
berfungsi memberikan arah agar dalam proses pendidikan khususnya dalam kegiatan
pembelajaran. Artinya dengan adanya arah teori-teori dan pandangan filsafat
pendidikan yang telah dikembangkan dapat diterapkan dalam praktek kependidikan
sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang berkembang di masyarakat. Di
samping itu, merupakan kenyataan bahwa semua masyarakat hidup dengan pandangan
dan filsafat hidupnya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya, dan dengan sendirinya akan menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Disinilah peran filsafat dalam mengarahkan proses pendidikan yang menyesuaikan
dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup dari masyarakat.
6. Filsafat
mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori
pendidikan menjadi ilmu pendidikan. Di mna suatu praktek kependidikan yang
didasarkan dan diarahkan oleh filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan
dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejala kependidikan yang tertentu
pula. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memeberikan arti terhadap
data-data kependidikan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun
menjadi sebuah teori-teori kependidikan yang ralistis dan selanjutnya akan
berkembanglah ilmu pengetahuan.
D.
Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
1. Menurut John Dewey (1961)
Bagi John Dewey, pendidikan tidak lain adalah hidup
itu sendiri. Dan hidup ini bukan hanya perkara hidup personal tapi secara luas
menyangkut kehidupan masyarakat itujuga.Karena itu pendidikan adalah sebuah
keniscayaan dan berlangsung secara alami, berfungsi sosial lantaran berlangsung
dalam masyarakat itu sendiri, memiliki nilai dan makna membimbing lantaran
kebiasaan hidup generasi lama yang berbeda dengan generasi baru serta menjadi
tanda perkembangan peradaban suatu masyarakat.
Pendidikan tidak lain adalah usaha menjaga keberlangsungan masyarakat itu
sendiri. Mengapa masyarakat perlu mendidik dirinya sendiri.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka
mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat
berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan pembentukan kemampuan
inteligensi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya penghormatan
pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Baginya ilmu mendidik tidak
dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan
sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya.
Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan
yang lama dan membangun kembali yang
baru.
Menurut Dewey, perubahan yang terjadi dalam
masyarakat pasti ada dan tak terhindarkan. Pandangan ini sebenarnya tidak
terlepas dari pemikiran filsafatnya mengenai realitas yang dipandangnya selalu
mengalir. Tidak mengherankan jika Dewey berkata bahwa pendidikan lantas menjadi
sebuah proses pembaharuan terus-menerus demi kelangsungan masyarakat dan anggota-anggotanya
melalui keterampilan, tehnik, kreativitas, dan sebagainya. Sebuah pembelajaran
yang terus disampaikan, dikomunikasikan seturut dengan keadaan yang dihadapi. Inilah
yang membuat dia dikatakan sebagai seorang pemikir progresivisme.
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang
berdemokratis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih
menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide pokok demokratis adalah pandangan hidup yang
dicerminkan dengan perluanya pastisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam
membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi
merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan
secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik. Sehubungan dengan hal tersebut
maka Dewey menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan.
Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebasan akademik diperlukan guna
mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpuh pada interaksi dan kerjasama,
berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain;
berpikir kreatif menemukan solusiatas problem yang dihadapi bersama, dan bekerja
sama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti sekolah demokratis
harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan, merancang kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
2.
Menurut
Ali Syaifullah (1981)
Menurut Ali Saifullah, antara filsafat, filsafat pendidikan, dan
teori pendidikan terdapat hubungan yang suplementer: filsafat pendidikan sebagi
suatu lapangan studi mengarahkan pusat perhatian dan memusatkan kegiatannya
pada dua fungsi tugas normative ilmiah, yaitu:
a. Kegiatan
merumuskan dasar-dasar, tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang hakikat
manusia, serta konsepsi hakikat dan segi pendidikan.
b. Kegiatan
merumuskan sistem atau teori pendidikan yang meliputi politik pendidikan,
kepemimpinan pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran, termasuk
pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat.
Bahwa antara filsafat pendidikan dan pendidikan terdapat suatu
hubungan yang erat sekali dan tidak terpisahkan.Filsafat pendidikan mempunyai
peranan yang amat penting dalam system pendidikan karena filsafat merupakan
pemberi arah dan pedoman dasar bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan kemajuan
dan landasan kokoh bagi tegaknya system pendidikan.
Kedudukan
filsafat dalam pendidikan merupakan fondasi yang tidak dapat diganti oleh mata
kuliah dasar lainnya. Filsafat merupakan sumber nilai dan norma hidup yang
menentukan warna dan martabat hidup manusia. Sementara guru adalah pelaksana
kegiatan penanaman nilai dan norma nilai pendidikan tersebut. Sumber-sumber
dasar dan pedoman yang menentukan arah dan tujuan nilai secara normative itu
akan ditanamkan dengan jalan mendidiknya (Saifullah, 1982:14).
Filsafat
pendidikan merupakan salah satu ilmu terapan.Ia adalah cabang ilmu pengetahuan
yang memusatkan perhatiannya pada bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan
kesejateraan hidup dan penghidupan manusia pada umumnya dan manusia yang
berpredikat pendidik khususnya.
Hubungan
filsafat pendidikan dengan program pendidikan merupakan hubungan sangat erat
dan mempunyai nilai relevansi yang tinggi. Hal ini disebakan keberadaan
filsafat pendidikan akan membantu memecahkan persoalan-persoalan pendidikan
Islam dan dapat membentuk kepribadian pendidik, anak didik, calon pendidik, dan
semua yang terlibat di dalam dunia pendidikan. Dengannya diharapkan tercipta
manusia yang beriman, bertakwa, berbudi luhur, dan berketrampilan sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UUSPN No. 2/1989.
3.
Menurut
Mohammad Noor Syam (1983)
Ruang lingkup filsafat adalah semua
lapangan pemikiran manusia yang komprehensif. Segala sesuatu yang mungkin ada dan
benar-benar ada (nyata), baik material konkret maupun nonmaterial (abstrak). Jadi, objek
filsafat itu tidak terbatas. Secara makro, apa yang menjadi objek pemikiran
filsafat yaitu permasalahan kehidupan manusia, alam semesta, dan alam
sekitarnya, juga merupakan objek pemikiran filsafat pendidikan. Namun secara mikro, ruang lingkup
filsafat pendidikan meliputi:
1.
Merumuskan secara tegas sifat
hakikat pendidikan (the nature of
education);
2. Merumuskan
sifat hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan (the nature of man);
3. Merumuskan
secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan
kebudayaan;
4. Merumuskan
hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan teori pendidikan;
5.
Merumuskan hubungan antara filsafat
Negara (ideology), filsafat
pendidikan dan politik pendidikan (system pendidikan);
6. Merumuskan
system nilai norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan
E.
Asumsi Dasar Filsafat Pendidikan
Imam
Barnadib (1982) mengemukakan beberapa asumsi dasar filsafat Pendidikan :
1. Sebagai ilmu pengetahuan normatif, ilmu
pendidikan merumuskan kaidah –kaidah norma dan
laku manusia;
2. Sebagai ilmu pengetahuan praktis, tugas
pendidikan adalah menanamkan serta mewariskan kaidah-kaidah sistem nilai
perilaku perbuatan manusia yang dijunjung tinggi oleh pendidik sertalembaga
pendidikan dalam suatu masyarakat;
3. Perumusan tujuan pendidikan mesti
mengandung dan memcerminkan sifat dan hakikat manusia yang harus dibina dan
dikembangkan dalam proses pendidikan;
4. Bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan
tersebut perlu dirumuskan politik pendidikan yang relevan, model-model
kepemimpinan pendidikan serta pendekatan-pendekatan pembelajaran sampai pada
seni mendidik yang diperlukan dalam proses pembelajaran;
5. Bahwa seluruh jalur, jenjang dan jenis
pendidikan harus merumuskan isi moral-spritual pendidikan yang akan menjadi roh
serta landasan pengembangan budaya organisasi penyelenggaraan pendidikan;
6. Oleh karena itu setiap tenaga
kependidikan, terutama tenaga pendidik, pada setiap jalur, jenjang dan jenis
pendidikan perlu memaknai filosofi serta way
of life yang akan melandasi pelaksanaan tugas serta perilaku mendidiknya.
7. Filsafat sebagai pandangan yang
menyeluruh dan sistematis. Menyeluruh karena filsafat bukan hanya pengetahuan,
melainkan juga suatu pandangan yang dapat menembus sampai di balik pengetahuan
itu sendiri. Dengan pandangan yang lebih terbuka ini, hubungan dan pertalian
antara semua unsur yang mengarahkan perhatian dan kedalaman mengenai kebajikan
dimungkinkan untuk dapat ditemukan. Sistematis, karena filsafat menggunakan
berpikir secara sadar, teliti, dan teratur sesuai dengan hukum-hukum yang ada.
F.
Manfaat Filsafat Pendidikan
1. Filsafat pendidikan memberikan wawasan
strategis bagi para perancang pendidikan untuk membentuk pemikiran sehat
terhadap proses pendidikan, memberi bahan bagi perumusan tujuan pendidikan,
fungsi pendidikan serta peningkatan mutu penyelesaian masalah pendidikan, serta
sangat berguna daam rangka pengambilan keputusan-keputusan strategis dalam
bidang pendidikan.
2. Filsafat pendidikan memberikan
prinsip-prinsip umum yang sangat penting bagi penilaian, kritik dan koreksi
terhadap berbagai program-program pendidikan secara komprehensif. Dalam
pengertian menyeluruh, penilaian pendidikan mencangkup berbagai tingkatan mulai
proses pembelajaran, penilaian institusi, sampai pada kebijakan makro politik
pendidikan baik pada tingkat nasional maupun global, serta kaitannya dengan
seluruh aspek kehidupan yang mengarahkan pembentukan peradaban manusia.
3. Menjadi salah satu landasan dalam perkembangan ilmu
pendidikan.
Dengan adanya filsafat pendidikan, maka setiap peneliti yang berkecimpung dan
merupakan salah satu pengamat di bidang pendidikan dapat terbantu untuk lebih
mengembangkan ilmu pendidikan yang ada. Berawal dari pertanyaan mengenai
apa, mengapa dan juga bagaimana, yang merupakan dasar utama dari filsafat.Hal
ini dapat membantu para peneliti dan juga mereka yang terlibat dalam dunia
pendidikan mampu mengembangkan dan menyempurnakan ilmu pendidikan yang sudah
ada.
4. Menjadi landasan dari kebijakan mengenai
pendidikan, misalnya apa yang harus dilakukan untuk memajukan pendidikan,
mengapa pendidikan itu perlu, dan bagaimana melaksanakan pendidikan
5. Untuk menentukan kurikulum dan
materi-materi apa saja yang harus diberikan oleh tenaga pendidik, sesuai dengan
tingkatan usianya. Dengan adanya filsafat pendidikan, maka akan lebih mudah
untuk mengkaji hal-hal apa saja yang harus diberikan kepada peserta didik untuk
memperoleh materi dan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan juga usia
mereka dengan cara pembuatan kurikulum ajar.
BAB V
PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia
1. Menurut Manusia
Secara
etimologis, filsafat berakar dari bahasa Yunani yaitu philos yang
berarti cinta, dan shopia yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat
adalah “cinta kebijaksanaan”. Kemudian dari pengertian etimologis tersebut,
dapat disimpulkan bahwa filsafat berarti pengetahuan mengenai pengetahuan, akar
dari pengetahuan atau pengetahuan yang terdalam.
Beberapa
definisi karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil
kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara
berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat
dan Timur di bawah ini:
a.
Plato (427
SM-347 SM) seorang filsuf yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru
Aristoteles, mengatakan : Filsafat adalah pengetahuan segala yang ada (ilmu
pengetahuan yang ada berminat mencapai kebenaran yang asli)
b.
Aristoteles
(384 SM-322 SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, etika,
ekonomi, politik, danestetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala
benda)
c.
Marcus
Tullius Cicero (106 SM- 43 SM) politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan
:Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha
untuk mencapainya.
d.
Al-Farabi
(meninggal 950M), Filsuf Muslim terbesar
sebelum Ibnu Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang
alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
e.
Immanuel Kant (1724
-1804), yang sering disebut raksa pikir Barat, mengatakan :Filsafat itu ilmu
pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan,
yaitu:"apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika);
"apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika); "sampai di
manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi).
f.
Prof. Dr. FuadHasan, guru besar psikologi UI,
menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya
mulai dari radikalnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak
dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha
untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
g.
Drs H. Hasbullah Bakry
merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan
mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai
oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu.
Setelah mengetahui rumusan-rumusan
tersebut dapatlah disimpulkan bahwa:
1)
Filsafat adalah 'ilmu
istimewa' yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh
ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan
biasa.
2)
Filsafat adalah hasil
daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara
radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada
Manusia
merupakan makhluk yang sangat unik. Upaya
pemahaman hakekat manusia sudah dilakukan sejak dahulu. Namun, hingga saat ini
belum mendapat pernyataan yang benar-benartepat dan pas, dikarenakan manusia
itu sendiri yang memang unik, antara
manusia satu dengan manusia lain berbeda-beda. Bahkan orang kembar identik sekalipun, mereka pasti memiliki
perbedaaan. Mulai dari fisik, ideologi,
pemahaman, kepentingan dll. Semua itu menyebabkan suatu pernyataan belum tentu
pas untuk di yakini oleh sebagian orang.
Para ahli pikir dan ahli filsafat memberikan sebutan kepada
manusia sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan manusia di bumi ini.
a.
Manusia
adalah Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi.
b.
Manusia
adalah Animal Rational, artinya binatang yang berpikir,
c.
Manusia
adalah Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan
menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
d.
Manusia
adalah Homo Faber, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat
perkakas atau disebut juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang pandai
membuat alat.
e.
Manusia
adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul
dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
f.
Manusia
adalah Homo Economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip
ekonomi dan bersifat ekonomis.
g.
Manusia
adalah Homo Religious, yaitu makhluk yang beragama.
h.
Dr. M. J.
Langeveld seorang tokoh pendidikan bangsa Belanda, memandang manusia sebagai Animal
Educadum dan Animal Educable, yaitu manusia adalah makhluk yang
harus dididik dan dapat dididik. Oleh karena itu, unsur rohaniah merupakan
syarat mutlak terlaksananya program-program pendidikan.
Ilmu yang mempelajari tentang hakekat manusia disebut Antropologi
Filsafat. Berikut pembahasan mengenai
manusia:
1)
Masalah Rohani dan Jasmani
Setidaknya terdapat empat aliran
pemikiran yang berkaitan tentang masalah rohani dan jasmani (sudut pandang
unsur pembentuk manusia) yaitu: Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran
dualisme, dan aliran aksistensialisme.
a)
Aliran Serba
zat (Faham Materialisme)
Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sunguh ada itu adalah zat atau
materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam,
maka dari itu manusia adalah zat atau materi.
Manusia ialah apa yang nampak sebagai wujudnya, terdiri atas zat (darah,
daging, tulang). Jadi, aliran
ini lebih berpemahaman bahwa esensi manusia adalah lebih kepada zat atau
materinya. Manusia bergerak menggunakan organ, makan dengan tangan, berjalan
dengan kaki, dll. Semua serba zat atau meteri. Berdasar aliran ini, maka dalam
pendidikan manusia harus melalui proses mengalami atau pratek (psikomotor).
b)
Aliran Serba
Ruh
Dalam buku lain, aliran ini diberi nama Aliran Idealisme. Aliran ini
berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini adalah ruh, juga
hakekat manusia adalah ruh. Ruh disini bisa diartikan juga sebagai jiwa,
mental, juga rasio/akal. Karena itu, jasmani atau tubuh (materi, zat) merupakan
alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan dan dorongan jiwa (rohani,
spirit, rasio) manusia.
Jadi, aliran ini beranggapan bahwa yang menggerakkan tubuh itu adalah ruh
atau jiwa. Tanpa ruh atau jiwa maka jasmani, raga atau fisik manusia akan mati,
sia-sia dan tidak berdaya sama sekali. Dalam pendidikan, maka tidak hanya aspek
pengalaman saja yang diutamakan, faktor dalam seperti potensi bawaan
(intelegensi, rasio, kemauan dan perasaan) memerlukan perhatian juga.
c)
Aliran
Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua
substansi, yaitu jasmani dan rohani. Aliran ini melihat realita semesta sebagai
sintesa kedua kategori animate dan inanimate, makhluk hidup dan benda mati.
Demikian pula manusia merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga.
Misalnya ada persoalan: dimana letaknya mind (jiwa, rasio) dalam pribadi
manusia. Mungkin jawaban umum akan menyatakan bahwa rasio itu
terletak pada otak. Akan tetapi akan
timbul problem, bagaiman mungkin suatu immaterial entity (sesuatu yang
non-meterial) yang tiada membutuhkan ruang, dapat ditempatkan pada suatu materi
(tubuh jasmani) yang berada pada ruang wadah tertentu.
Jadi, aliran ini meyakini bahwa sesungguhnya manusia tidak dapat dipisahkan
antara zat/raga dan
ruh/jiwa. Karena pada hakekatnya keduanya tidak dapat dipisahkan. Masing-masing
memiliki peranan yang sama-sama sangat vital. Jiwa tanpa ruh ia akan mati, ruh
tanpa jiwa ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam pendidikan pun, harus
memaksimalkan kedua unsur ini, tidak hanya salah satu saja karena keduanya sangat
penting.
d)
Aliran
Eksistensialisme
Aliran filsafat modern berpikir tentang hakekat manusia merupakan
eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat
manusia itu yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini manusia
dipandang dari serba zat, serba ruh atau dualisme dari kedua aliran itu, tetapi
memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri di dunia.
2. Menurut
Al-Qur’an
Ada tiga kata yang digunakan
Al-Qur`an untuk menunjukan makna manusia, yaitu : al-basyar, al-insani, dan al-nas.
a.
Al-Basyar
telah dinyatakan dalam Al-Qur`an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat.
Al-Basyar lebih merujuk pada makna biologis. Secara etimologi berarti kulit
kepala, wajah. Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan
hewan yang lebih didominasi bulu atau rambut.
Al-Basyar juga dapat diartikan mulamasah,
yaitu persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan, secara etimologis dapat
dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan
dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain
sebagainya.
Penunjukan kata Al-Basyar ditujukan Allah kepada seluruh manusia tanpa
terkecuali, demikian pula halnya dengan nabi dan para RosulNya. Hanya saja
kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidakdiberikan
wahyu.
Kata Al-Basyar juga digunakan Al-Qur`an untuk menjelaskan eksitensi Nabi
dan Rosul. Eksistensinya, memiliki kesamaan dengan manusia pada umunya, akan
tetapi memiliki titik perbedaan khusus bila dibandingkan dengan manusia lainya.
Titik perbedaan tersebut dinyatakan dalam Al-Qur`an dengan adanya wahyu dan
tugas kenabian yang disandang oleh Nabi dan Rosul. Sedangkan aspek yang lainya
dari mereka adalah memiliki kesamaan dengan manusia lainya.
Kata Al-Basyar digunakan Allah dalam Al-Qur`an untuk menjawab anggapan
orang Yahudi dan Nasrani yang mengklaim diri mereka sebagai anak-anak dan
kekasih pilihan Tuhan.
Kata Al-Basyar digunakan Allah dalam Al-Qur`an untuk menjelaskan proses
kejadian Nabi Adam AS sebagai manusia pertama, yang memiliki perbedaan dengan
proses kejadian manusia sesudahnya.
b.
Al-Insani
dinyatakan dalam Al-Qur`an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat.
Kata Al-Insani digunakan Al-Qur`an untuk menjelaskan sifat umum, serta
sisi-sisi kelebihan dan kelemahan manusia. Hal ini terlihat dalam
firman-firman Allah dalam Al-Qur`an,
seperti :
“Tidak semua
yang diinginkan manusia berhasil
dengan usahanya, bila
Allah tidak menginginkanya.”
Disini terlihat secara jelas, adanya keterlibatan Tuhan dalam realitas apa
yang di cita-citakan manusia
1)
Gembira bila
dapat nikmat, serta susah bila dapat cobaan. Ini terjadi karena manusia
seringkali lupa atas nikmat yang diberikan Allah.
2)
Manusia
sering bertindak bodoh dan dzalim.
3)
Manusia seringkali
ragu dalam memutuskan persoalan
4)
Manusia bila
mendapat suatu kenimatan materi, seringkali lupa diri dan bersifat kikir
5)
Manusia
adalah makhluk yang lemah.
6)
Kewajiban
manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya.
7)
Peringatan
Allah agar manusia waspada terhadap bujukan orang-orang munafik.
c.
Al-Nas
dinyatakan dalam Al-Qur`an sebanak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat.
Kata Al-Nas
menunjukan pada eksistensi manusia sebagai mahkluk sosial secara keseluruhan
tanpa melihat suatu keimananya dan kekafiranya.
Kata Al-Nas dinyatakan dalam Al-Qur`an untuk menujukan bahwa sebagian besar
manusia tidak memiliki ketetapan iman yang kuat, kadang ia beriman, sementara
lain waktu ia munafik.
B. Pandangan Islam Tentang Alam Semesta
Menurut
Islam pandangan terhadap alam semesta bukan hanya berdasarkan akal semata. Alam
semesta difungsikan untuk menggerakkan emosi dan prasaan manusia terhadap
keagungan al-Khaliq, kekerdilan manusia di hadapan-Nya, dan pentingnya
ketundukan kepada-Nya. artinya, alam semesta dipandang sebagai dalil qath’i
yang menunjukkan keesaan dan ketuhanan Allah.
1.
Alam Semesta Diciptakan Untuk Satu
Tujuan
Alam
semesta ini tidak diciptakan berdasarkan permainan atau senda gurau. Firman
Allah: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan
dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”(ad-Dukhaan:38-39)
“Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan [tujuan] yang benar dan dalam waktu yang ditentukan.” (al-Ahqaf: 3)
“Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan [tujuan] yang benar dan dalam waktu yang ditentukan.” (al-Ahqaf: 3)
Kepada
manusia disajikan berbagai pertanyaan dan anjuran untuk beribadat kepada Allah
sekaligus mengesakan-Nya setelah manusia merenungkan makhluk-makhluk
ciptaan-Nya, firman Allah:
“Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.
Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. dan
orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka Itulah orang-orang yang
merugi. Katakanlah: “Maka Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, Hai
orang-orang yang tidak berpengetahuan?” Dan mereka tidak mengagungkan Allah
dengan pengagungan yang semestinya Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya
pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha suci Tuhan
dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (az-Zumar: 62-64, dan
67) [[1]]
Pandangan Islam terhadap alam semesta menimbulkan
berbagai dampak dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah :
a.
Keterkaitan seorang muslim dengan
Pencipta semesta melalui tujuan yang paling tinggi, yaitu beribadat kepada
Allah.
b.
Mendidik manusia supaya
bersungguh-sungguh karena seluruh semesta ini diciptakan untuk tujuan tertentu
serta masa yang ditentukan pada sisi Allah, bukan untuk main-main atau senda
gurau.
Firman
Allah: “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di
antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak membuat suatu
permainan [istri dan anak], tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami
menghendaki berbuat demikian, [tentulah Kami telah melakukannya].”
(al-Anbiyaa’: 16-17) [[2]]
Ayat tersebut mengajak manusia untuk mencapai tujuan
dari berbagai fenomena semesta melalui cara yang serius, tanpa main-main, senda
gurau, dan kesia-siaan. Selain itu, hendaknya, perenungan terhadap alam semesta
ini merupakan perenungan yang logis dan ilmiah. Untuk mewujudkan ini, al-Qur’an
mengarahkan pandangan si perenung pada masalah-masalah yang lebih mendalam.
C. Kedudukan Manusia Di Alam Semesta
1.
Manusia Makhluk Yang Paling Mulia
Manusia adalah sebagai makhluk ciptaan yang memiliki
dimensi yang lengkap dan potensial, baik dari dimensi material maupun
spiritualnya. Ia juga sebagai makhluk yang paling sempurna baik dari bentuk fisik
maupun mentalnya (QS. At-tin, 94:6). Kendatipun demikian, pada sisi yang lain
manusia juga memiliki kesamaan segi dari jenis makhluk Tuhan lainnya pada
umumnya (binatang), pada saat yang sama ia juga berbeda dengan makhluk-makhluk
jenis hewani tersebut. Perbedaan tersebut lebih dikarenakan dari proses
pencipataanya. Dengan adanya perbedaan posisi manusia merupakan pengejawantahan
tersendiri dalam eksisitensi makhluk ciptaan secara menyeluruh.
Perbedaan-perbedaan itu diklasifikasikan ke dalam tiga bagian[[3]]:
a.
Pemahaman
diri sendiri dan lam semesta.
b.
Keinginan-keinginan
untuk mengatur manusia lainnya.
c.
Tingkat
kemampuan manusia untuk mengatasi keinginan-keinginan dan kemampuan untuk
memilih.
Adapun sebab-sebab yang membedakan manusia dari
makhluk lainnya adalah pada diri manusia sejak lahir sudah membawa bawaan
(fitrah) yakni berupa wadah atau bentuk yang dapat diisi dengan berbagai
kecakapan dan keterampilan.
Menurut Syahminan Zaini (1986:36), fitrah beragama,
fitrah intelek, fitrah sosial, fitrah susila, fitrah kemerdekaan, fitrah seni,
fitrah seni, fitrah ekonomi, fitrah politik (berkuasa), fitrah persamaan,
fitrah keadilan, fitrah cinta bangsa dan tanah air, fitrah ingin dihargai, dan
lain-lain.
Dengan kelebihan fitrah yang dimilikinya ini
memungkinkan manusia untuk menempuh proses pendidikan, karena fitrah bersifat
potensial dan produktif, jika dikembangkan secara benar dan intensif tentulah
akan besar manfaatnya bagi manusia itu sendiri. Dan ini merupakan manifestasi
dari kelebihan yang khas dan fundamental dari profil manusia (Djumransyah,34).
Semua potensi dasar itu juga sangat tergantung pada pembinaan dan pengembangan
serta perlu adanya landasan pendidikan yang prosfektif yaitu, pola pendidikan
yang berlandaskan pada nilai-nilai religius dan falsafah bangsa yang
humanis,sehingga diharapkan dapat tercipta insan yang memiliki karakteristik
yang islami. Karena memungkinkan sekali potensi yang dimilki manusia akan mati
atau liar tanpa dididik tentunya dengan pendidikan yang berlandaskan pada agama
(al-Qur’an) sebagai landasan dasarnya(QS. Ar-Rum, 30:30).
Sebagai makhluk ciptaan yang istimewa ia juga
merupakan makhluk Allah yang tertinggi (QS. at-Tin, 94:4). Keistimewaan ini
menyebabkan dia diangkat menjadi khalifah dan mengemban tugas kekhalifahan yang
telah ditetapkan Allah kepadanya. Selain sebagai makhluk hidup yang tertinggi
ia juga disebut makhluk yang paling mulia disebabkan kesempurnaan bentuk dan
kelebihan akal pikirannnya. Konsekuensinya sebagai makhluk yang dianugerahi
akal pikiran, manusia dituntut untuk menggunakan akal pikirannya dengan
semaksimal mungkin untuk menggali dan sekaligus memahami fenomena alam hingga
terciptanya ilmu pengetahuan.
2.
Manusia Sebagai Abdullah (Hamba Allah)
Dimensi lain yang dimiliki manusia dalam al-qur’an
adalah sebagai ‘Abd (Hamba Allah) yang harus selalu beribadah kepada-Nya.
Bentuk pengabdian manusia kepada Sang Penciptanya. Oleh sebagian pakar
dikaitkan dengan kedudukan manusia di alam semesta ini. Dasar yang menjadi
pijakan argumen para pakar tersebut adalah merujuk pada ayat “Tidaklah akan
menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah (ibadah) kepadaNya.
Manusia selain sebagai hamba Allah yang harus selalu
tunduk dan mengabdi kepada-Nya, untuk sampai pada tingkatan hamba yang
benar-benar taat, tentulah ia memerlukan hal yang menopang dirinya untuk
menjadi hamba yang baik. Dalam konteks ini sejalan dengan pandangan ja’far
al-Shadiq, ibadah sebagai bentuk pengabdian kepada Allah baru akan dapat
diwujudkan seseorang bila memenuhi tiga hal: pertama, menyadari sepenuhnya
bahwa apa yang dimilikinya termasuk dirinya sendiri adalah milik Allah dan
berada dibawah pengawasan-Nya; kedua, menjadikan segala bentuk sikap dan
aktivitasnya senantiasa mengarah pada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan
menjauhi segala apa yang menjadi larangan-Nya; ketiga, dalam mengambil suatu
keputusan senantiasa mengaitkan restu dan izin Allah, tempat ia menghambakan
diri (Quraish Shihab: 51-52, Jalaludin, 2001:29).
Maka, dapat disimpulkan bahwa salah satu kedudukan
manusia di alam semesta sebagai Abdullah (hamba Allah) memang benar, karena
memang telah menjadi ketentuan-Nya.
3.
Manusia Sebagai Khalifatullah
Pada hakikatnya eksistensi manusia dalam kehidupan
di dunia ini adalah untuk melaksanakan tugas kekhalifahan, yaitu membangun dan
mengelola dunia tempat ia tinggal sesuai dengan kehendak penciptanya.
Sebagaimana tercantum pada QS. Al-baqarah 2:30. Tugas tersebut sangat berat,
namun ini menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa bumi atas petunjuk
Allah swt. Selain itu, dari tugas tersebut tergambar pula sekaligus pendudukan
manusia selaku makhluk ciptaan-Nya yang paling mulia (QS. Al-An’am 6:165).
M. Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah
mengandung pengertian:
a.
Orang
yang diberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
b.
Khalifah
memiliki potensi untuk mengemban tugasnya namun juga dapat melakukan kesalahan
dan kekeliruan (QS. At-Thaha, 20:16 dah QS. Shaad, 38:26).
Selanjutnya mengutip pendapat Muhammad Baqir al-Sadr
bahwa sehubungan dengan makna kata itu ada dua unsur, yaitu unsur intern dan
unsur ekstern. Ada yang mengartikannya pula dengan dua jalur, yaitu: jalur
horizontal dan jalur vertikal.
Berangkat dari pemahaman makna yang termuat
didalamnya, barangkali akan jelas bagaimana peran yang harus dilaksanakan
manusia menurut statusnya selaku khalifah.
Peran manusia yang pertama mengacu kepada bagaimana
manusia dapat mengatur hubungan baik antara sesamanya dan alam sekitarnya,
peran ini disebut dengan jalur horizontal/unsur intern. Hubungan yang dimaksud
adalah hubungan yang seimbang dan menguntungkan, tidak ada eksploitasi
didalamnya (QS. Ibrahim, 43:32 dan QS. Al-Zukhruf, 43:13). Yang kedua yaitu
jalur vertikal/ unsur ekstern, disini peran manusia digambarkan sebagai
pengemban kepercayaan atau amanat dari Allah. Pada peran ini manusia haruslah
menyadari bahwa kemampuan yang dimilkinya untuk menguasai alam dan sesamanya
adalah karena penugasan dari Allah swt. Dengan demikian, tugas itu harus
mencakup bagaimana manusia harus berperan sebagai pengemban amanat yang jujur
dan baik. Dalam statusnya sebagai khalifah Allah, manusia dituntut untuk
menjaga kelestarian dan kelangsungan tatanan harmonis yang ada dibumi sebagai
nikmat-Nya (QS.al-Rahman, 55:13)
Selanjutnya untuk menjalankan tugas-tugas tersebut
dengan baik haruslah ada persyaratan yang bersifat teknis oleh seorang yang
menjadi khalifah. Hal ini dimaksudkan agar dalam mengemban tugas dapat berjalan
searah dengan tuntunan yang diberikan oleh penciptanya. Persyaratan-persyaratan
teknis tersebut, yaitu ia memiliki kecakapan dalam memegang amanat yang
diberikan kepadanya, seperti sikap jujur, adil, berpengetahuan luas dan
memiliki akhlak yang mulia.
BAB
VI
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Progresivisme
Progresivisme menurut bahasa dapat
diartikan sebagai aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat.
Dalam konteks filsafat pendidikan progresivisme adalah suatu aliran yang
menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan pengetahuan
kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah
pada pelatihan kemampuan berfikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat
berfikir secara sistematis melalui
cara-cara ilmiah seperti memberikan analisis, pertimbangan dan perbuatan
kesimpulan menuju pilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan
masalah yang dihadapi.[4]
Progresivisme juga merupakan pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat:
1.
Fleksibel
(tidak kaku, tidak menolak perubahan)
2.
Curios
(ingin mengetahui, ingin menyelidiki)
3.
Toleran
dan open minded (mempunyai hati terbuka)
Aliran progresivisme
memiliki sifat-sifat umum yaitu:
1.
Sifat
negative
Sifat
itu dikatan negative dalam arti bahwa progresivisme menolak otoritarisme dan
absolutisme dalam segala bentuk.
2.
Sifat
positif
Positif dalam arti progresivisme menaru kepercayaan
terhadap kekuatan alamiah dari manusia, kekuatan yang diwarisi manusia sejak
lahir. Progresivisme percaya bahwa manusia dapat menguasai seluruh
lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.[5]
Progresivisme yakin bahwa manusia memiliki
kesanggupan-kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam. Namun
disamping keyakinan tersebut ada juga pemikiran apakah manusia itu sendiri
mampu belajar bagaimana menggunakan kesanggupan itu, tetapi meskipun demikian
progresivisme tetap bersikap optimis tetap percaya bahwa manusia dapat
menguasai seluruh lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.
Ciri-ciri utama aliran
progresivisme antara lain:
1.
Manusia
sebagai subjek yang memiliki kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan
hidupnya.
2.
Manusia
mempunyai kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan
mengancam manusia itu sendiri.
3.
Pendidikan
dianggap mampu untuk mengubah dan menyelamatkan manusia demi masa depan.[6]
B. Tokoh-tokoh Aliran Progresivisme
1. William James (11 Jauari 1842- 26 Agustus
1910)
William James seorang psychologist yang
lahir di New York pada tanggal 11 Januari dan meninggal pada tanggal 26 Agustus
1910 di Choruroa, New Hamsher. Selain seorang psikolog ia juga adalah seorang
filosof Amerika yang terkenal. Selain sebagai penulis yang sangat brilian,
dosen, dan penceramah dibidang fisafat ia juga dikenal sebagai pendiri aliran
pragmatisme. James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek
dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan
hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai
bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James
menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan
menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
2.
John Dewey
Jhon Dewey lahir pada tanggal 20 Oktober
1859 di Burlington, Vermon dan meninggal pada tanggal 1 Januari 1952 di New
York. Tokoh pelopor pragmatisme-progresivisme John Dewey dalam mengemukakan teorinya
berangkat dari filsafat pragmatisme yang diukur dengan setandar rasional. Teori
Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan pada anak
didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka munculah “Child
Centered Curiculum”, dan “Child Centered School. Progresivisme ini
mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas. Filsafat
yang dianut Dewey adalah bahwa dunia fisik itu real dan perubahan itu bukan
sesuatu yang tidak dapat direncanakan. Perubahan dapat diarahkan oleh pandangan
manusia.
3.Hans
Vaihinger (1852-1933)
Hans
Vaihinger berpendapat bahwa tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian
dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan. Satu-satunya ukuran bagi berpikir
ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian
di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata. Jika pengertian
itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu
saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
4.
Georges Santayana
Georges digolongkan pada penganut
pragmatisme ini. Tapi amat sukar untuk memberikan sifat bagi hasil
pemikirannya, karena amat banyak pengaruh yang bertentangan dengan apa yang
dialaminya.[7]
C. Pemikiran Progresivisme Tentang Pendidikan
Filsafat progresivisme berpendapat
bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar pada masa
datang. Maka dari itu peserta didik dibekali dengan strategi pemecahan masalah
yang memungkinkan mereka untuk mengatasi tantangan-tantangan baru dalam
kehidupan dan guna menemukan kebenaran-kebenaran yang relevan pada saat ini.
Mereka percaya bahwa kehidupan itu berkembang dalam suatu arah positif, dan
bahwa umat manusia pada dasarnya adalah baik dan dapat dipercaya untuk
bertindak dalam minat-minat terbaiknya. Karena itu orientasi utama aliran
progresivisme adalah memberi kebebasan pada anak untuk menentukan sendiri
pengalaman-pengalaman belajarnya di sekolah. Sekolah menjadi wadah pembinaan
dan pendidikan anak-anak didik dalam rangka menumbuh kembangkan potensi agar
berkembang kearah maksimal. Guru sebagai pendidik bertanggung jawab akan tugas
pendidikannya.[8]
Menurut progresivisme proses pendidikan mempunyai dua segi:
1.
Segi
psikologis, pendidik harus mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada
pada anak didik yang yang akan dikembangkan.
2.
Segi
sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbing.[9]
Dalam aliran progresiv ini proses
belajar mengajar dikelas ditandai dengan beberapa hal antara lain:
a. Guru
merencanakan pelajaran yang membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa.
b. Selain
membaca buku siswa juga diharuskan berinteraksi dengan alam misalnya melalui
kerja lapangan atau lintas alam.
c. Guru
membangkitkan minat siswa melalui permainan yang menantang siswa untuk
berfikir.
d.
Siswa didorong untuk berinteraksi dengan sesamanya untuk membangun
pemahaman sosial.
e. Pendidikan
sebagai proses yang terus-menerus memperkaya siswa untuk tumbuh.
Para pendidik aliran ini menentang praktik
sekolah tradisional, khususnya dalam lima hal yaitu guru yang otoriter,
terlampau mengandalkan metode buku berbasis teks, pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, filsafat empat
tembok, yakni terisolasi pendidikan dari kehidupan nyata, penggunaan rasa takut
atau hukuman badan sebagai alat untuk menanamkan disiplin pada siswa.
Adapun beberapa pemikiran aliran
progresivisme lainnya tentang pendidikan yaitu:
1.
Prinsip-prinsip
Pendidikan[10]
a. Pendidikan seharusnya adalah hidup itu
sendiri, bukan persiapan atau kehidupan
b. Belajar harus berhubungan dengan minat
anak
c. Belajar melalui pemecahan masalah
hendaknya diutamakan dari pada pemberian bahan pelajaran
d. Guru berperan membimbing kegiatan
belajar mereka
e. Sekolah harus menggerakan kerjasama dari
pada kompetensi
f. Demokrasi
2.
Tujuan pendidikan
Tujuan
pendidikan menurut aliran progresivisme adalah pendidikan harus memberikan
keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan
yang berbeda dalam proses perubahan yang terus menerus. Pendidkan bertujuan
agar peserta didik mempunyai kemampuan memecahkan masalah baru dalam kehidupan
pribadi maupun sosial, selain itu pendidikan juga bertujuan membantu peserta
didik untuk menjadi warga Negara yang demokratis.
3.
Kurikulum
Pendidikan
Kurikulum
seharusnya menggunakan pendekatan indisipliner, buku merupakan alat dalam
proses belajar, bukan sumber pengetahuan. Metode yang digunakan adalah metode
ilmiah dari ikuiri dan metode problem solving. Kurikulum dikatakan baik apabila
bersifat fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki
keuntungan-keuntungan untuk diperiksa setiap saat. Menurut aliran progresivisme
kurikulum hendaknya:
a. Tidak universal, melainkan berbeda-beda
berdasarkan kondisi yang ada
b. Disesuaikan dengan sifat-sifat peserta
didik
c. Berbasis pada masyarakat
d. Bersifat fleksibel dan dapat dirubah
atau direvisi
Adapun lima aspek kurikulum dalam aliran
progresivisme yaitu:
a. Reorganisasi di dalam suatu subjek khusus sebagai langkah
pertama mencari pola dan desain yang baru
b. Korelasi antara dua atau lebih
subject-matter
c. Pengelompokan dan hubungan integrative
dalam satu bidang
pengetahuan,
misalnya pendidikan umum dalam ilmu pengetahuan alam dan arts
d. "core-curicullum" suatu
keompok mata pelajaran yang memberi pengalaman dasar dan sebagai kebutuhan umum
yang utama
e. "experience-centered
curriculum" yakni kurikulum yang mengutamakan pengalaman dengan menekankan
pada unit-unit tertentu[11]
4. Metode Pendidikan
Metode
pendidikan yang biasanya dipergunakan oleh aliran progresivisme diantaranya:
1.
Metode
pendidikan aktif, pendidikan progresif lebih berupaya penyediaan lingkungan dan
fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada
setiap anak untuk mengembangkan setiap bakat dan minatnya.
2.
Metode
memonitor kegiatan belajar, mengikuti proses anak kegiatan anak belajar
sendiri.
3.
Metode
penelitian ilmiah, pendidikan progresivisme merintis digunakannya metode
penelitian ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep.
4.
Pemerintahan
belajar, pendidikan progresivisme memperkenalkan pemerintahan belajar dalam
kehidupan sekolah dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah.
5.
Kerjasama
pemerintah dengan keluarga, adanya kerjasama antar sekolah dan keluarga dalam
rangka menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi anak untuk
mengekspresikan secara alamiah semua minat dan kegiatan yang diperlukan anak.
6.
Sekolah
sebagai laboratorium pembaharuan pendidikan, sekolah tidak hanya tempat untuk
belajar tetapi berperan pula sebagai laboratorium dan pengembangan gagasan baru
pendidikan.
5. Peran Guru dan Siswa dalam Pembelajaran
Menurut Progresivisme
Filsafat progresivisme telah memberikan
kontribusi yang besar di dunia pendidikan, dimana telah meletakan dasar dasar
kemerdekaan dan kebebasan kepada pesertadidik. Progresivisme bermaksud
menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi
yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
a. Peran Guru
Guru
dalam melakukan tugasnya dalam praktek pendidikan berpusat pada anak, mempunyai
peranan-peranan sebagai berikut:
1) Fasilitator atau orang yang menyediakan
dirinya untuk memberikan jalan bagi kelancaran proses belajar siswa sendiri.
2) Motivator, atau orang yang mampu
membangkitkan minat siswa untuk terus giat belajar sendiri.
3) Konselor, atau orang yang dapat membantu
siswa menemukan dan mengatasi sendiri masalah-masalah yang telah dihadapi
setiap siswa dalam kegiatan belajar sendiri.
Guru
perlu mempunyai pemahaman yang baik tentang karakteristik siswa, dan
teknik-teknik memimpin perkembangan siswa, serta kecintaan kepada anak, agar
dapat melaksanakan peranan-peranan yang baik.
b. Peran Siswa
Progresivisme menganggap setiap
peserta didik sebagai subjek pendidikan yang dituntut untuk aktif secara
pribadi maupun kelompok. sekolah adalah dunia kecil (miniatur) masyarakat
besar, dimana aktifitas ruang kelas difokuskan pada praktik pemecahan masalah,
serta atmosfer sekolah diarahkan pada situasi yang kooperatif dan demokratis.
Pendidikan berpusat pada anak(child centered). Setiap anak didik adalah unik
yang mempunyai pemikiran sendiri, keinginan sendiri, serta memiliki
harapan-harapan dan kecemasan sendiri yang berbeda dengan orang dewasa. Oleh
karena itu, mereka dituntut aktif dalam menyampaikan ide atau gagasan yang
mereka miliki secara aktif baik individu maupun kelompok.
[1]
Abdurrahman An-Nawawi. Pendidikan Islam Dirumah, Sekolah, dan Masyarakat.
(Jakarta, Gema Insani, 1995) h.46
[2] Ibid ,
h. 47
[4]
Muhmidyeli, Filsafat Pendidikan Islam.(Pekanbaru: LSFK2P. 2005), hlm. 161-162
[5] Zuhairi.
Filsafat Pendidikan Islam. (Bumi Angkasa. Jakarta : 2008), hlm. 20-21
[6] H. M.
Jumberansyah Indar, Filsafat Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994),
hlm.131
[7] Prof. Dr. H. jalaludin, Drs. Abdullah Idi,
M.ed. Filsafat Pendidikan Manusia, filsafat dan Pendidikan (media Pertama)
[8] Ibid
[9] Muis Sad
Iman, Pendidikan Partisipatif,(Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), hlm. 55
[10] Uyoh.
Sadullah, pengantar filsafat pendidikan, (Bandung: Alfabet, 2007), hlm. 148
[11] Mohamad
Nur Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm 254